Gunung yang biasa terlihat dari
jendela kamar sudah tak terlihat lagi. Ini tandanya hari sudah malam. Tak terlihat
bintang menerobos masuk menembus tempat tidurku. Malah sebaliknya, ada yang
menetes dari pelupuk mata sembab ini. Dalam gelap dalam sunyi dalam nuansa
hening. Tiba-tiba saja turunlah mata air dari kedua mata sayuku saat dia mengatakan
sesuatu itu. Bukan tentang kebahagiaan tepatnya.
Hati Hawa yang sensitif ataukah hati
Adam yang tak peka. Bukan teori dalam ironi rasa, melainkan sebaliknya tentang
analisis setelah berhipotesis ria. Aku menangisinya malam ini. Lagi-lagi dia
tak merasa, lagi-lagi aku yang harus bercerita ria pada angin yang tak sepoi,
pada langit yang sedikit muram, pada ilalang yang sempat kita bacakan make a wish untuknya. Ini asing bagi
seorang wanita sepertiku. Merasalah!
Tak seharusnya aku bilang setiap
pertemuan itu indah. Tapi karena dialah aku menganggapnya indah, karena dialah
aku menganggapnya bukan hanya jelajah tanpa arah. Pertemuan dengannya mampu
menghilangkan resah dan gundah dalam gamitan awan abu-abu. Aku menepis semua
paradigma tentang pertemuan, yang aku catat hanya indah indah dan indah. Mungkin
sebuah opini membosankan bagi yang hatinya belum merasakan sama denganku.
Apalah ini Tuhan, rasanya
tak ingin menjadi seseorang yang terlalu mudah mengambil kesimpulan. Tuhan
jatuhkan rahmatMu dalam setiap hal yang tak pernah kuinginkan sakit, tak
kuinginkan kecewa, tak kuinginkan memadamkan rasa. Berjalan bersamaMu
menghentikan kesembaban mata sayu ini, aku percaya di atas abu-abu itu masih
ada terang, terang cahayaMu dalam kasihMu untukku dan untuknya.
Dengan Kasih...
"Embun Jingga"
Dengan Kasih...
"Embun Jingga"
0 komentar:
Posting Komentar