Tentang pagi
yang menanti matahari
Tentang senja
yang menanti bintang
Tentang embun
yang menanti giliran menetes pada ranting yang diam
Tentang
goresan ini yang menanti kau baca (Embun Jingga)
Jika ada yang berkata pertemuan
adalah takdir Tuhan, mungkin benar jika akhirnya aku harus percaya. Jika ada
yang berkata dalam pertemuan tersirat banyak rahasia, lagi-lagi benar jika aku
harus menganggukkan kepala. Jika ada yang berkata pertemuan tidak selamanya
berakhir dengan apa yang kita inginkan, hatiku masih diam meresapi, benarkah?
Pagi ini aku berjalan
lebih jauh saat berangkat mengemis ilmu di salah satu fakultas termuda pada salah
satu perguruan tinggi ternama di nusantara. Jarak yang bisa ku tempuh dengan sepuluh
menit saja bisa menjadi dua kali bahkan empat kali lipat lebih jauh. Aku pun
tak berjalan cepat agar lekas sampai kemudian duduk rapi di dalam kelas. Aku
pun memperlambat langkahku sejengkal demi sejengkal, agar tak lekas menjadi
pemandangan teman-teman di kelas seperti biasanya saat aku masuk dan
meneriakkan salam khas di dalam kelas.
Aku begitu menikmati setiap perjalanan yang ku
tempuh. Perlahan dan sangat pelan, sesekali ku berhenti dan menengadahkan
tanganku ke langit, namun sebelumnya ku lihat terlebih dahulu jalanan kecil yang
ku lewati sepi atau ramai, jika sepi barulah ku berani melakukan hal konyol itu.
Ku tutup mataku kecil, ku tersenyum lalu mengucapkan harapan terbesar kedua pagi
ini. Ku lakukan itu lebih dari sekali di beberapa titik henti yang ku fokuskan.
Aku benar-benar berharap, itu yang ku catat dalam memori terbatasku ini.
Tentang dia dan sekelumit
rasa yang abstrak. Kalem dan bertutur kata halus, itulah kesan pertama saat aku
menjumpainya di salah satu gedung kebanggan di universitas ini. Iya,
universitas ternama di nusantara. Hari itu entah mengapa segalanya terasa
bersahabat. Dimulai saat dia menghampiriku dengan tiba-tiba, tak perlu
kuceritakan pada kegiatan apakah itu. Lagi-lagi aku masih malu. Tiba-tiba udara
di ruangan yang kami tempati terasa sejuk, dan saat dia duduk di sebelahku
semuanya terasa teduh. Lagi-lagi aku memastikan persahabatan alam dan aliran
sengatan sinar dari kata hati.
Entah apa ini, segalanya
terasa bukan abu-abu lagi. Ada dia, ada aku, ada mereka yang menyaksikan
pertemuan kami. Pertemuan tentang hati yang sama-sama tak tahu menahu.
Pertemuan tentang raga yang entah jiwanya berkata apa. Namun yang pasti saat
itu hatiku gembira. Setiap patah kata yang terlontar terasa logis dan
sistematis, mungkin ini efek si dia yang sesekali menebar senyum kecilnya,
walaupun bukan padaku saja.
Terasa cepat, pertemuan ini
terasa hanya beberapa detik saja. Aku masih ingat ketika dia menyebutkan
beberapa kata yang tidak asing lagi di telingaku, tentang kata-kata yang
tersusun seperti nada yang menciptakan lagu. Tentang kami, mungkin itu judul
yang tepat. Mengapa kami? Belum tentu dia merasakan hal yang serupa. Bisa saja
malah tidak sama sekali. Astagaaaa... berpikir apa aku Tuhan.
Dia melangkahkan kakinya
selangkah demi selangkah, aku amati, aku ringkas berapa kali dia bergeraka
dalam setiap meter per detik. Aku sedikit menghafalkan dentuman bunyi sepatu
hitamnya yang terlihat tepat berada di kaki makhluk Tuhan yang ada di depanku
itu. Sungguh, setiap langkahnya bukan untuk dikagumi, melainkan untuk diamati
kapankah arah sepatu itu tidak membelakangiku, melainkan berjalan ke depan
tepat menghampiriku. Apa-apaan ini, pikiranku sudah kacau mungkin.
Pertemuan itu berulang,
tidak hanya sekali, entahlah berapa kali, cukup kami dan mereka yang tahu serta
menjadi saksi yang akan terbungkam jika waktu tak mampu bertanya. Tidak singkat,
bagiku setiap satu menit kedipan matanya adalah sepersekian jam lamanya. Tidak
singkat, bagiku setiap langkah kakinya yang melawan arah kata hatiku adalah
sepersekian kali suasana menolakku dan tidak sependapat. Tidak singkat, bagiku
lewat di sampingnya adalah satu dari sekian banyak mimpiku yang belum ku tulis,
dan aku memerluakan waktu lebih dari enam ribu tujuh ratus enam puluh empat
hari untuk mendapatkan kesempatan itu.
To be continued...
Dengan Kasih...
"Embun Jingga"
To be continued...
Dengan Kasih...
"Embun Jingga"
kok tulisan anak Bahasa Indonesia gni??
BalasHapus#datar sekali hehe
Sippp!!!
BalasHapusIni yang saya minta.
Terimakasih menjadi masukan.
To be continued#
Pipppp...
BalasHapusAmpun dah!!!
Cerita paling keren dari kamu yang pernah aku baca.
#Kirim ke Bintaro!!!!
Tulisanku dikomeni arek STAN rekkk:)
BalasHapusTu baca komen atas kamu, 'masih datar'
Sek belum dibilang bagus dan, sek sinau iki.