Selamat Pagi Tuhan. Akhirnya
prasangka ini menunjukkan kehebatannya. Semalam aku bermain dengan bianglala
yang mampu menerobos gemerlap lampu malam di tengah nuansa. Aku begitu
menikmati segala romansa ceria yang begitu hangat. Aku berusaha menerobos penat
dalam belenggu cerita senja tak ternanti. Entah bagaimana aku mampu melukiskan
segala hal yang akhir-akhir ini aku rasakan.
Aku menyusuri malam di tengah
kerumunan manusia yang begitu bahagia. Aku larut dalam ceria gumpalan tawa
tanpa duka, walaupun entah apa yang mereka rasakan dibalik itu semua. Entahlah,
bukan urusanku juga. Hingga akhirnya aku terhenti pada titik sunyi karena
dering hp bergetar cukup memekikkan dengan melodi, aku begitu berdegup dan
gugup. Ternyata ada nomor baru mengirimiku pesan singkat.
“I see u” begitu bunyi pesan itu.
Sontak saja aku langsung gemetar tiada henti. Bukan kalut, aku coba memastikan
segala petikan cerna nada malam yang coba mengantarkanku pada kepingan cerita
senja. Sempat aku ingin meneteskan air dari mata sayuku ini. Entah ini bahagia
atau haru yang tiada terbendung. Tiba-tiba saja kaki terasa lemah tak mampu ku
jalankan lagi, aku diam dan tak bisa berkata. Sebahagiakah ini? Sesedihkah ini?
Atau sebodoh inikah aku atas setiap hal yang tak mampu ku pahami alurnya. Aku
begitu gamang, semuanya terasa absurd.
Entah inikah kehebatan prasangka, aku
merasa akan bertemu dengannya malam ini. Benar ternyata, aku menemuinya.
Menemui dia yang beberapa hari ini menjadi cerita dalam setiap percakapan
kecilku dengan Tuhan. Menemui dia yang beberapa jam lalu menjadi manusia yang
paling sering kuceritakan pada awan, pada hujan, dan pada mentari. Aku
benar-benar tak menyangka akan bertemu dengannya. Entahlah, lagi-lagi entah.
Begitu menjadi pesona paling menegangkan dalam setiap titik garis fokusku pada
masa yang paling berat ini.
Sejenak aku berdiam. Suasana menjadi
berubah tanpa arah. Aku ingin mengatakan aku bahagia, namun dia tak mengatakan
demikian pada angin bahwa dia merasakan hal seperti itu . Aku ingin mengatakan aku sedih, namun dia tak mengutarakan
pada Tuhan agar hujan mengiringi sedihku jika aku menangis. Aku ingin memanggil namanya, namun
lagi-lagi malu merajai segala organ tubuhku. Alat ucap ini terasa kelu hanya
untuk sekadar berkata “Kamu, terimakasih telah menyapaku terlebih dahulu”.
Dengan Kasih...
"Embun Jingga"
0 komentar:
Posting Komentar