Ketika perbedaan menjadi batas antara rasa itu untuk
terungkapkan. Tuhan Selamat Malam!!! Aku mengucapkan kalimat itu hanya untukMu
malam ini, entahlah bagaimana surga detik ini, malamkah, atau mungkin pagi.
Tuhan masih tentang dia kali ini, iya dia, siapa lagi Tuhan. Dia yang
akhir-akhir ini menjadi penabur yang menabur rasa senyumku, rasa sakitku, rasa kecewaku,
bahkan rasa yang tak dapat kudefinisikan.
Ketika ada yang mengatakan setiap perasaan selalu datang
dariMu mungkin kini aku harus percayakan padaMu Tuhan. Sesungguhnya Engkaulah
maha membolak-baikkan hati ini. Hati yang saat ini entah ingin apa. Entah ingin
berbuat bagaimana, yang hanya mampu menuliskan segala rasanya lewat risalah
malam yang kutitipkan pada angin agar tersampaikan padanya. Iya, pada dia, dia
yang baru kutemukan belum lebih tiga ratus lima puluh enam hari.
Aku diam memperhatikan segala tingkahnya yang tak jarang
sebenarnya ingin kuikuti. Mengikuti bagaimana dia hari ini, mengikuti ke mana
saja dia pergi, bukan lagi di belakangnya, bukan pula dari kejauhan, namun di
sampingnya. Di sampingnya walau hanya dalam khayal munajatku. Sesekali ingin
menyapanya dengan senyum layu, tanpa dia membalas itu sudah cukup. Merasakan
kehadirannya lewat angin saja sudah membuatku lega karena dia masih sama-sama
menjadi makhlukMu di gemah rimpah loh jinawi ini.
Tak bisa kutolak terkadang hari-hari yang masih sempat
kujalani ini semakin membuatku tak bisa lepas dari bayangannya. Saat aku
presentasi dalam matakuliah tersulit pun, ingatan tentang pertemuanku dengannya
selalu menjadi penutup presentasi yang menyenangkan, iya demikian. Mengapa?
Karena dengan mengingat itu aku merasa menjadi seorang paling beruntung karena
memiliki banyak mimpi. Iya mimpi, mimpi menjadi seseorang yang sehebat dia.
Aku tak ingin salah menafsirkan takdir Tuhan ini. Aku tak
ingin salah lagi dalam menempatkannya di kehidupanku yang tak sebentar lagi.
Mengurai mimpi-mimpi setinggi-tingginya akan kulakukan agar semangat darinya tak
terbuang percuma dan tak berguna. Aku ingin dia masih seperti ini sampai
musim ini berganti dengan musim yang lain, bahkan merasakan musim yang belum
pernah kurasakan ingin kurasakan bersamanya. Iya, musim ini, mungkin di sini tak ada, mungkin aku
dan dia harus melangkahkan kaki bersama ke puncak jayawijaya untuk dapat sedikit merasakan tetesan salju
perlahan dengan keadaan sama. Sama-sama asing, sama-sama masih malu, dan
sama-sama tak akan menodai pertemuan dari Tuhan untuk kita siang itu.
Dengan Kasih...
Embun Jingga
Dengan Kasih...
Embun Jingga
0 komentar:
Posting Komentar