Aku selesai membaca semua
catatan-catatanmu di salah akun jejaring sosialmu. Aku membacanya dengan
teramat runtut. Aku tertarik dengan pola penceritaanmu yang terkesan frontal,
namun ada beberapa catatanmu yang kurang bisa ku terima karena aku tahu itu
bukan catatan orisinal yang kamu buat, benar saja, aku pernah membaca tentang
itu di salah satu akun jejaring sosial orang lain. Entah, siapa yang mencopy
dan mempaste, bagiku sekarang adalah saatnya memberikan tanggapanku untuk kamu
di masa bahula dan di masa sekarang. Cukup kamu baca masa pra aku mengenalmu
dan masa pasca aku mengenalmu di gedung itu.
Aku awali dengan sebuah kata maaf,
maaf karena aku tak lebih dahulu izin saat membaca catatan-catatan kamu. Maaf
saat aku terlalu dalam mengorek-ngorek identitasmu melebihi petugas pembuat KTP
menanyaimu sebelum kamu membuat KTP beberapa tahun yang lalu. Maafkan aku, aku
hanya ingin lebih mengenalmu dengan cara melalui segala usahaku sendiri. Semoga
kamu bisa menerima segala alasan yang aku kemukakan, aku tak memiliki niat
sedikitpun untuk sekadar mengusik sela-sela titik nafasmu.
Aku suka dengan caramu yang tergolong
arogan dalam mengemukakan alasan, gayamu yang sedikit slengekan namun tetap
bisa dipertanggungjawabkan, hingga aku tercengang ternyata kamu bukan salah
satu dari manusia sekuat supermen yang pernah kamu katakan. Kamu pernah
merasakan rasa sakit yang sama seperti makhluk Tuhan lainnya. Benar, rasa suka,
rasa kagum, rasa duka, rasa kecewa, dan ini yang agak membuatku riskan, iya
benar rasa cinta. Aku mulai merasa sedikit ingin segera menyelesaikan membaca
tulisanmu saat kamu mengatakan pernah memiliki perasaan itu kepada sosok lain,
penggambaran tepatnya aku tidak begitu tahu. Aku hanya sedikit mengulangi pada
bagian itu dan membaca beberapa komentar temanmu.
Sedikit mulai meninggalkan bagian
tentang itu. Aku melangkahkan dan menggerakkan mataku pada bagian dan babak
baru dalam kehidupanmu. Tepatnya pasca apa cukup aku yang tahu. Aku merasakan
ada yang berbeda pada tulisanmu, pada status-status yang kamu buat, dan pada
tindakan kamu saat ini. Kali ini aku sedikit mengagumi dan mencoba menyenangkan
hati bahwa kamu bukan yang dulu lagi. Aku mengenalmu saat kamu lebih baik dari
waktu-waktu yang pernah kamu lalui, dan aku beruntung. Terima kasih Tuhan.
Setetes embun memberikan banyak cerah
nan indah pada pagi. Seperti percakapan kita pada waktu itu. Waktu di mana aku
menjadi sayu karena aku terharu. Terharu saat membaca salah satu tulisanmu,
benar tulisan yang kamu buat beberapa hari yang lalu. Aku jadikan itu penawar bagi
segala rasa yang tak menyenangkan. Lagi-lagi berputar, aku hanya bisa
menjadikan segala pengakuanmu, satu tulisanmu, dan beberapa pesan singkatmu di
inboxku sebagai penetral bisa segala ceritamu yang dulu. Aku sedang bersama
kamu yang baru, bukan masa lalumu walaupun tetap kuhargai segala proses
kehidupanmu.
Aku akhiri dengan sepasang ikatan
tanganku yang menengadah memohon pada Tuhan agar segala sikapku ini tidaklah
salah. Aku selalu berharap Tuhan akan memberikan segala hal terindah bagi yang
kita lalui dalam babak baru kisah-kisah. Aku tak ingin ada yang berubah, aku
ingin kamu seperti ini, aku menerima kamu dengan segala kisah-kisah yang
mungkin masih begitu asing di telingaku. Tentangmu yang terkadang berdebat soal
politik, soal pemerintahan, soal doktrin, soal pendidikan, dan yang teramat
sensitif soal kepercayaan. Sudahlah, aku menjadikan semua perbedaan ini sebagai
warna. Warna yang akan menghiasi cerita kita di hari-hari indah selanjutnya, yang
akan menjadi anugerah bagi kita yang menjalaninya, bersama bunga-bunga yang aku
siram setiap pagi dan sore di taman dekat kolam. Aku tak ingin melewatkan
sedikit pun hari tanpa menceritakan dan berbagi cerita denganmu.
Sekian banyak alasan mencoba
menjatuhkanku pada fase minim kepercayaan padamu, namun kehadiranmu dengan sosok
hari ini memberikanku lebih banyak alasan untuk mempertahankan perasaan ini.
Hingga pada takdir Tuhan nanti akan berkata apa, yang aku tahu hanyalah aku
berusaha yang terbaik dalam hidupku walaupun belum mampu mengatakan “hidup kita”.
Semoga aku selalu percaya dan mengerti Tuhan tak pernah memberikanku proses
kehidupan yang sia-sia. Termasuk sia-sia saat aku mengenalmu di siang itu
dengan posisi duduk yang sejajar dan sama.
Satu lebih empat puluh dua menit dini hari
Dua puluh tiga mei dua ribu dua belas
Dengan Kasih...
Embun Jingga