Selasa, 25 Maret 2014

Catatan 26

Perpisahan itu bukan berujar tentang ditinggalkan dan meninggalkan, ia mungkin sedang ingin menepi dan TIDAK SEDANG MENUNGGU NAHKODA lain. 
Kotaku mendung di awal pekan ini. Mengandung banyak uap air yang belum termuntahkan. Jalanan di sekitar gang kontrakanku lenggang, tak banyak kendaraan yang lalu lalang, hanya sesekali nenek tua penjaja gorengan dan nasi bungkus dengan pekik suara kencangnya meramaikan pagi, di susul penjaja kue basah dari wanita bertubuh kekar yang ‘sudah naik haji’ katanya, entah dari mana datangnya nyatanya setiap hari mereka lalu lalang, mereka tidak pernah pergi. 

Aku menjelma menjadi pagi, dan kamu selalu berwujud kabut. Iya, kamu kabut. Seakan mengiringi kemunculanku, lalu tiba-tiba menghilang pukul enam pagi. Tanpa pernah merasa bersalah kamu selalu seperti itu beribu-ribu kali, kamu seakan ada, nyata-nyata kamu pergi. Aku tidak sedang menunggu, sekali lagi tidak sedang menunggu, kamu teramat hebat untuk membuatku mendoa bahwa selepas senja kamu akan datang lagi, mengajakku bermain bukan main-main. 

Hidup sebatas pengharapan, sepuluh tahun berlalu dan aku masih tetap wanita bernama sama, namaku Rahmi dan kasihku pada pemilik kebun bunga Matahari itu tiada putus. Berjangka panjang mengingat janji, berjangka pendek mengingat kesalahanmu, kemutlakan. Entah mungkin sudah tercipta seperti ini. Aku tidak pernah menyesalinya, menyesali semua mimpi-mimpi yang pernah kita rajut bersama dan kamu hempaskan sendiri pagi itu. Iya pagi selepas aku bangun tidur, pagi selepas pak pos mendatangiku dan mengantar risalahmu. Angin menyuruhku tidak percaya, tapi kamu membuatku semakin percaya, bukan, aku tidak sedang berbicara akhir. Kita teramat sering berbicara pengakhiran komitmen kita.

Pelan-pelan mendung bergeser menjadi cerah siang, seperti biasa kuhabiskan siang ini dengan lembaran-lembaran kertas pekerjaan yang selalu bertumpuk setiap hari. Aku menyukai perkerjaanku. Pasca skizofrenia itu menyerangmu, cukup biasa sepuluh tahun ini aku sering mengalihkan perhatianku pada pekerjaan. Dahulu aku selalu takut seiring datangnya skizofrenia itu, kamu akan memintaku pergi dan membuatku menangis di ujung pintu. Psikiater yang kujumpai sepuluh tahun yang lalu itu bilang ‘pengertianku akan keadaanmu yang membuatku menangis harus punya cara yang tepat untuk mengalihkan. Misalnya berkutat dengan pekerjaan agar tidak mudah ingin memperhatikanmu.’ Psikiater itu tidak pernah tahu bahwa diam-diam aku masih saja ingin memperhatikanmu, aku bilang pada psikiater itu kamu tidak sedang sakit. Mungkin aku yang selalu menuntut komunikasi, lagi-lagi aku mengalihkan semuanya pada kehadiranku saat itu.

Aku tahu rasanya dianggap memperburuk, ini masih bagian awal, kondisi bilang aku membuatmu menjadi buruk. Entah bagaimana anggapan bahwa saat itu aku mampu bertahan pada diam yang membuat kuantitas hubungan kita menjadi lama. Lebih dari tiga tahun dan melaju pada tahun ke enam hingga ke tujuh. Tidak ada yang bisa tersalahkan atas lamanya kebersamaan kita. Aku tahu kamu masih merasakannya, iya merasakan manisnya kehadiran ‘kita’ walaupun sesekali kamu sering dilanda cemas yang berkepanjangan, dilanda was-was akan masa depan, dan dilanda takut secara besar-besaran. Aku begitu hafal kamu kekasihku yang memiliki espektasi tinggi atas semua mimpi-mimpimu. Iya, aku begitu hafal. Sehafal menu makanan rutin pagimu, sarapan bubur di depan Hang Tuah. 

Mereka bilang aku selalu diberi harapan olehmu, belum tentu aku dilabuhkan pada kepastian. Mereka teramat pandai menghakimi keadaan kita, mereka lupa Tuhan sudah siapkan jalannya masing-masing, mereka lupa konsep takdir. Aku masih mencoba menghabiskan kopi susu yang mulai aku sukai, buatan office boy baru asal Klaten yang katanya sedang mengumpulkan uang untuk istri melahirkan. Ah, untuk apa aku ceritakan keadaan office boy itu, bukankah itu tidak penting? ‘Mungkin iya’. Argumen yang datar. Tiba-tiba aku mengingat argumenmu selalu datar, dan pada tahun keempat argumen datar itu tidak pernah membuatku sakit hati. Aku tahu kamu tidak selalu ingin mendengarkan ocehan-ocehan cerewetku, aku mengerti dengan saksama bahwa kamu bukan tipikal laki-laki yang suka saat aku mengomel tentang atur makanmu, cek kesehatanmu, kamu selalu bilang dapat menjaganya sendiri. Dalam konsep ini aku tahu rasanya tidak sedang dibutuhkan, bukan tidak dibutuhkan.

Tujuh tahun bersamamu, aku tidak sedang merealisasikan fiksiku, aku tidak sedang merawat orang sakit, tujuh tahun itu aku belajar menyayangimu. Pernah suatu ketika saat kita menghabiskan sebuah es krim di sebuah taman kota, kamu selalu menggodaku untuk tertawa bersamamu, kamu bilang kita harus menghabiskan pagi di sini, aku tahu kamu menghiburku karena riset yang aku lakukan tidak lolos terpublikasi jurnal Internasional. Aku pun larut dalam dua es krim vanila yang kita sukai, lambat laun aku melunak, kamu paling mengerti bahwa aku wanita berobsesi tinggi, aku pun memberimu satu senyuman bahwa aku tetap bahagia. Kita pun saling tersenyum dan kita meniup lalu melayangkan balon-balon merah. Kamu mengerti cara membuatku bahagia, dan pada tahun kelima itu aku menjadi semakin cinta. 

Kamu tidak sedang sakit, kamu bisa membahagiakanku setiap pagi. Kamu belum berwujud kabut dan kamu tidak pernah pergi. Tiga kali menemanimu pergi ke medical center untuk berkonsultasi nyatanya tidak pernah memunculkan prasangka bahwa kamu sedang mengidap suatu penyakit kronis. Aku pernah mencoba untuk satu bulan tidak menghubungimu, aku tahu skezofreniamu sedang kambuh. Kamu tidak sedang ingin bicara, kamu tidak sedang ingin berkomunikasi dengan siapa-siapa, termasuk aku. Saat itu aku tidak pernah ingin muncul di hadapanmu lagi, tetapi tiba-tiba nyatanya malah kamu mendatangi kotaku dan memintaku untuk tidak meninggalkanmu. Kamu yakinkan bahwa pemicu keadaan ini bukanlah aku, kamu mengusap air mataku dan kita menghabiskan sore dengan bersepeda. Semuanya mengalir cepat, semuanya baik-baik saja. Celetuk sahabat mengatakan ‘labil’, mereka tidak mengerti kondisi kita, mereka tidak tahu usahaku mempertahankan kestabilan emosimu sayang. 

Kamu tahu makna ‘melepas’ sayang? Ia tidak pernah nyata meninggalkan tanpa tanggung jawab. Aku bukan wanita yang tidak bertanggungjawab atas semua perasaan-perasaan terbaik yang pernah saling kita berikan. Aku masih menyimpan dengan baik semua kisah yang sudah kita goreskan, layaknya aku menyimpan semua bando-bando pemberianmu. Iya, kamu begitu suka memberiku bando-bando polos setiap mengunjungiku. Kamu tidak pernah menyakitiku, kita sakit atas kegagalan hati kita masing-masing. Kita sudah tidak saling bermanja untuk menyembuhkan. Tidak ada bando merah untuk nuansa hati gembira, bando putih untuk nuansa hati lara yang ingin kita kembalikan menjadi ceria, bando hijau untuk pencapaian terbaik dalam satu bulan, bahkan bando biru jika kita sedang saling bosan. Semuanya seperti terkalender dengan baik, dalam ingatanku. Kamu laki-laki yang baik, itu mengapa kita saling dipertemukan.

Tidak terasa malam beranjak dengan cepat, aku belum lekas pulang kantor. Gerimis masih menemaniku menghabiskan tumpukan portofolio yang harus segera diselesaikan. Tidak terasa mengenangmu melalui tulisan ingin rasanya kuhabiskan sepuluh tahun lagi untuk tega mencerca keadaan kita. Untuk menghardik diriku sendiri yang tidak pernah bisa mengatakan mengapa kita tidak lagi bersama? Sepuluh tahun bersamamu menghabiskan kopi di malam hari, menyeduh teh di sore hari, meneguk es cendol di siang hari, membuatkanmu sajian sarapan sebelum pagi, dan aku melakukannya semua hanya denganmu. Mereka mengataiku ‘bodoh’ dan ‘tidak realistis’, mereka seakan menimangku dengan belas kasihan berbulan-bulan, mereka memberiku beberapa patah wejangan, tapi kamu tahu, semua itu berlalu lalang hanya mengitariku telingaku, mereka tidak pernah menjalani sepuluh tahun berkutat dengan orang yang sama. Mereka tidak pernah merasakan harus diruwat berkali-kali agar adat dapat membawa nasib baik, menjauhi pantangan-pantangan agar kita bahagia ‘katanya’, dan kita menjalaninya dengan pengharapan. –BERSAMBUNG-

Catatan Dua Puluh Enam untuk semua pengharapan terbaik, semoga kamu lekas sembuh dan dipertemukan dengan HIJAU. Jangan lagi pernah saling menanyakan mengapa kita akhirnya harus tidak saling bersama? Kamu percaya konsep jodoh sayang? Hakikatnya kita tidak pernah saling memiliki, kita hanya saling dipertemukan olehNya, dan kapan saja Dia memiliki kuasa penuh atas muara yang Ia anggap TERBAIK.