Sabtu, 18 Mei 2013

Selamat Pagi Daun

Pagi ini seakan mengoyak seluruh jiwaku untuk tidak melaju menuju siang. Iya, mengoyak setengah dari jiwamu yang pernah kau titipkan padaku. Benar-benar mengoyak seperti angin yang tak pernah aku tahu bagaimana cara berhembusnya. Apakah kamu lalai untuk menghadangnya dengan rantingmu? Pagi ini jiwaku yang terdiri atas setengah jiwaku dan setengah jiwamu yang akhirnya menjadi satu padu dan membuat hidupku masih bertahan untuk alam ini seperti terkoyak habis. Pagi seakan-akan tak ingin memberi hati budinya untukku.

Aku berjalan ringkih mendekatimu daun, aku bertanya apakah pagar terali yang kita buat bersama tidak kau simpan lagi? Apakah kamu lupa setiap pagi kamu harus mengokohkan pagar terali kita? Aku masih ingat, bahkan kau kaitkan pagar terali itu pada satu bagian klorofilmu, sehingga ketika siang datang, aku masih dapat bertengger menjadi embun untukmu. Apakah sudah kau lepaskan?

Aku bimbang bagaimana mengajakmu kembali bersahabat dengan pagi. Aku bimbang bagaimana mengajak harimu tertawa seperti saat kita menikmati sentuhan pagi setiap hari. Aku bimbang bagaimana caraku mengokohkan pagar terali itu untuk melindungi kita. Aku bimbang daun... aku seperti hanya embun yang hilang warna setiap kamu tak ada lagi. Aku seperti embun yang hanya mampu menetesi ranting tanpa kau bantu menetesinya. Aku seperti berlawan arah dengan pagi. Aku tak ingin lekas senja. Aku masih ingin bersama pagi bersama kamu.

Jika aku tak pernah mengerti bagaimana daun dapat selalu berwarna hijau, aku hanya sedikit mengerti bagaimana aku selalu menjaganya agar terlihat lebih hijau setiap pagi. Jika aku tak pernah mengerti bagaimana ranting selalu ingin bersamamu, aku hanya sedikit mengerti bagaimana aku juga ingin selalu disandingkan denganmu, dengan pagi dan dengan matahari. Kita hanya miliki alam sebagai rumah, tapi bukankah kita sudah miliki keluarga yang selalu dapat menjadi cerita dalam dimensi kita daun?

Balada Daun dan Embun...
Delapan belas di bulan kelima, masih dalam tahun yang penuh pengharapan...

Jumat, 10 Mei 2013

Cerita Sore (Episode Kebebasan)

Kebebasan itu seperti terbang. Bebas mengawang dalam segala dimensi. Bebas kapan saja ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, berputar, mengambang, dan semua kosakata yang mengarah pada nafas yang lega. Kebebasan itu kompleks. Bukan kompleks menciptakan, bukan kompleks memangku beban, bukan pula kompleks berpikir pelik, melainkan bebas itu bernafas tanpa batas, tanpa melampaui syukur.

Bagiku berkutat dengan ketidakbebasan adalah melalui hidup dengan terikat. Terikat dengan segala aturan yang terbuat sendiri. Dalam konteks ini terlepas dari kepercayaan dan sosial dalam hidup. Aku tak sedang membicarakan terkait dua poin tersebut. Bebas di sini aku juga tak ingin seperti burung yang terkadang lupa bagaimana cara pulang. Aku tak ingin menyamakannya dengan apapun dan siapapun. Aku hanya ingin kebebasan.

Kebebasan itu bebas bercita, bebas berkarya, bebas menentukan jalan, dan bebas menentukan arah hidup. Bagaimana akhirnya aku lebih memilih kebebasan dari pada selalu terikat dengan aturan yang terbuat sendiri, bukan sebab, bukan pula inginan. Aku hanya ingin bebas meminum air kelapa di pinggir pantai yang tenang bersama angin dan bersama cinta Tuhan. Kebebasan itu, dan masih aku agungkan.

Melewati kebebasan tanpa cinta itu tak mungkin. Bukan, bukan tentang cinta yang mengarahnya pada lawan jenis. Lebih dari itu, aku ingin semakin bebas dengan cinta yang kutebar pada setiap aspek kehidupan yang membutuhkan. Bagaimana bisa pikiranmu sempit bahwa cinta hanya untuk laki-laki pada perempuan, perempuan pada laki-laki, bahkan kepada sesama jenis sekalipun. Terlalu dangkal, aku ingin memaknainya secara bebas. Iya, dengan kebebasan yang entah bagaimana mereka artikan.

Dan sekali lagi ini awal aku bercerita tentang kebebasan. Aku bebas bagaimana menerjemahkan hidup. Aku bebas bagaimana berjuang dengan segala caraku sendiri. Aku ingin berhenti dari setiap hal yang membuatku tak bebas. Termasuk kebebasanku tentang bercerita.