Kamis, 21 Februari 2013

Catatan Sore

Seperti setiap cerita indah yang selalu aku rangkai dalam setiap fiksiku, kini aku mulai berajak pada satu titik yang cukup terang. Iya, titik di mana aku harus melihat aku memang sedang beranjak dengan mereka bersama mimpi-mimpiku. Menengok ke kanan dan ke kiri telihat aku bersama malaikat, menengok ke depan dan ke belakang bersama pembelajaran dan harapan, sesekali melirik ke atas melihat Tuhan tersenyum padaku, dan melirik ke bawah melihat cinta yang ditebarkan pada pundak dan langkahku. Aku benar-benar tidak sendiri kali ini, ini lebih dari cukup rasa.

Aku baca berulang-ulang tulisan yang aku pampang paling terang dari sekian tulisan yang aku tuliskan. Aku seperti dikuatkan sebuah kalam Tuhan, kalam paling luar biasa yang selalu membuatku percaya akan setiap janji-janjiNya, ‘Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan ( Al- Syarh: 6 )’. Aku seperti semakin dekat dengan mimpiku, aku seperti seakan tinggal meraba dan sesekali memejamkan mata agar semakin terasa Tuhan sedang mendampingiku. Iya, mendampingi ke manapun langkahku pergi dalam melayani setiap hambaNya dengan anugerah yang diberikan padaku.

Ini bukan masa tersulit yang sedang aku lewati, ini hanya masa yang cukup mebuatku merasa harus lebih berjuang keras, berjuang untuk cita, berjuang untuk asa, berjuang untuk harapan-harapan mereka. Dalam perjuangan ini nyatanya aku tak pernah sendiri. Untuk apa aku takut jika lentera itu akhirnya mati, jika embun tak lagi membasah, jika purple tak lagi ungu, jika tulisan tak lagi lugu, jika langit tak lagi datang senja, jika mata akhirnya harus melihat nyatanya memang aku penuh dalam dekapan kasih Tuhan. Aku seperti tercengang saat melihat kemudahan itu janjiMu, bukan janji-janji para penebar janji yang tang sungkan lupa diri, iya, lupa pada janji yang diungkap, dikata, bahkan diserapahkan.

Semakin detik yang kulalui semakin aku tak ingin melewatkan sedikitkpun tanpaMu, bahkan setengah detik yang tak terhitung harusnya aku selalu mengabdi padaMu. Iya, padaMu yang menciptkan pekanya rasaku akan kasihMu, pekanya semua indera yang kumiliki untuk ciptaanMu yang lain. Tuhan, kali ini aku semakin terang, mimpiku semakin dekat, senyumku seakan tak pahit lagi, asal aku selalu mendekatiMu, bukankah pasti kamu akan selalu menjadi pemilik kuasa atas hidupku. Entah aku tak tahu amal manakah yang akan mengantarkan aku ke surgaMu, aku hanya ingin selalu beguna tidak hanya untuk umat-umat Muhammad, iya, semua ciptaanMu lebih kusebut Tuhan.

Kota bunga yang selalu lengang, sebelum matahari terbit, hari kedua puluh satu, bulan kabisat, tahun yang mendekatkanku pada angka dua puluh.


Minggu, 10 Februari 2013

Sebelas Nol Tepat di Terminal Kota Angin

Akhirnya kita berjumpa. Iya, berjumpa dalam nuansa yang bercampur rasa. Nuansa yang tiba-tiba membuat kita merasa menjadi lain. Bukan lagi aku dengan beraniku dan kamu dengan beranimu, melainkan rasa dag dig dug yang selalu memburu-buru dalam setiap kontak kita. Aku ingat aku memperlakukanmu seperti di bandara, dengan gelagat seorang pembantu desa aku mendatangimu dengan malu-malu membawa kertas merah muda yang menanyakan namamu.

Semua itu terasa lugu, begitu saja terjadi. Aku seakan berani meremas-remas kertas merah muda itu di depanmu, bukan apa-apa. Hanya malu dan rasa tak karuan ini sedang merajai hatiku yang berdetak tak tentu. Aku tak percaya, aku bisa bertemu denganmu di kotamu yang sama lugunya dengan kotaku.

Kita bersama tak terlalu lama, tidak lebih dari lima jam namun begitu bermakna. Iya, bermakna bagi aku terutama, entah kamu apalagi kita. Aku pikir kita menikmati setiap jelajah pertemuan ini. Kita seakan masuk dalam dunia beda kita, kamu dalam duniaku yang suka berfantasi dan rempong dalam bahasa bencong, aku dalam duniamu yang begitu keras namun inspiratif. Aku suka semua ini, aku suka kita.

Entah apa yang menggelayuti setiap rasa. Aku berusaha mengalihkan dan aku berusaha tak menebak. Aku bercerita kamu menyimak, kamu bercerita aku lebih antusias menyimak. Hanya canda-canda kecil yang menjadi latar dalam setiap adegan yang kita lakukan. Iya adegan aku menatap jendela, dan kamu yang serasaku ingin melihatku lebih lama. Aku pun terkadang demikian dalam setiap diamku. Kita seperti remaja, walau hanya dalam setiap rasa yang kita punya.

Semua beralih lirih dan akhirnya sunyi. Kita harus menghentikan pertemuan kita. Entah apa yang ada dalam benak kita masing-masing, aku seperti tak ingin lelah untuk dapat memperjuangkan cerita ini. Iya cerita yang katanya nyata tapi entah terasa ataukah tidak. Dengan berjuang aku merasa hidup, hidupku memang bukan kamu, tapi kamu satu dari sekian alasan mengapa aku masih bertahan hidup.

Terima kasih untuk setiap cerita dan satu carik kertas gambar penuh makna.
Kamu mulai bisa mengimajinasikan namaku.

Dengan kasih...
Tanpa nama.

Kota yang ingin kamu kunjungi, sepuluh bulan dua kabisat tahun masehi.

Kamis, 07 Februari 2013

Selamat Malam, Aku Gamang

Akhirnya aku tersendat menyelesaikan semua cerita-cerita yang kamu minta. Iya ceritamu dengan perempuan yang katamu istimewa itu. Aku seakan tak menemukan bagaimana akhir cerita yang akan terjadi. Aku tak tega membubuhkan akhir yang tidak menyenangkan, karena awal sebelum aku berbagi tujuh hari yang lalu aku begitu bersemangat untuk menyelesaikan ceritamu dengannya sesuai apa yang kamu minta. Iya kamu memintaku untuk memberi akhiran yang menyenangkan. Aku ingin berbisik, sinilah “lalu aku bagaimana?”.

Seakan bodoh bertanya padamu dengan pertanyaan lugu seperti itu, harusnya memang tak aku tanyakan padamu. Aku kini seperti kupu-kupu yang tak lelah mengitari bunga Matahari, aku seperti hanya berani melihatmu sedang meneguk serbuk indah dari bunga matahari yang lain. Kini aku tak akan bertanya bagaimanakah aku. Jawaban itu termuat utuh pada beberapa frasa yang pernah kamu publish di akun jejaring sosialmu. Aku membacanya beberapa hari yang lalu.

Hei kamu, iya kamu. Jangan menjauh, tenanglah aku sedang tidak terluka, kamu jangan takut. Bukan, bukan karena aku tak punya rasa sakit. Bukankah dengan melihatmu saat ini bahagia harusnya hatikupun demikian, bukankah dengan melihatmu seakan mulai memiliki mimpi-mimpi lagi, aku harus lebih membuatmu dan ia dekat. Iya, kedekatan seperti yang kamu harapkan, aku akan mengirim doa untukmu dari kotaku.

Satu tindakan dariku yang kamu anggap baik adalah baikku dan baikmu, bukan hanya baikmu. Bayangkan saja, jika pagi tadi aku belajar membuat kue kering untukmu apakah itu hanya untuk membahagiakanmu? Tentu tidak, aku berharap satu resep yang bisa aku berikan nyatanya padamu dapat juga kubagi kasihnya pada mereka, iya sesama makhlukku. Bukankah itu juga membahagiakan mereka? Bukan hanya kamu, walau kadang beharapnya kamu lebih dahulu. Entahlah...aku mulai abstrak kali ini.

Aku mendaki dan terus mendaki, aku tak ingin tengok ke belakang untuk memastikan apakah kamu sebenarnya masih ada untuk mengiringi. Aku harus terus mendaki hingga puncak bukan? Katamu aku harus percaya, bagaimanapun jalannya kita, bagaimanapun arahnya kita, jika tujuan sama dan pencipta mengiyakan kita akan bersama-sama bertemu di puncak kemudian saling membahagiakan. Aku masih percaya, bagaimanapun nanti.

Aku sedang tidak menunggu apapun...
Tidak juga kamu bahkan tiga ratus lima puluh enam dikali lima hingga tujuh aku masih di sini. Aku gamang malam ini, aku tak akan menua sendiri bukan?

TIDAK, bisik Bintang.

Enam bulan kabisat pasca dua ribu dua belas. Dua puluh satu angka tiga belas. 

Rabu, 06 Februari 2013

Selamat Pagi, Aku Bukan Lagi Embun

Hei kamu, apa kabarmu hari ini? Kotaku cerah pagi hingga siang ini, entah sore nanti. Tahukah kamu? Aku mulai merasa kamu seakan mulai mengikuti alurku dalam berkomunikasi akhir-akhir ini, seakan menghindari memberi feedback di seperempat malam walaupun kita saling berjaga untuk memohon melalui doa. Iya, apakah kamu juga mulai merasa?

Pagi ini aku bersama keluarga berkumpul pra melakukan aktivitas kami masing-masing. Seperti biasa momen ini kami gunakan untuk saling bercerita, iya bercerita tentangku saat ini dan nanti aku di masa depan. Banyak hal yang membuat otak kami saling terisi, tentunya berisi tentang hal-hal yang memberikan banyak stimulus baru untuk saling berbenah. Aku juga menceritakan tentang kegiatan baruku saat ini, dan akhirnya ini yang aku tunggu, memasukan cerita-ceritamu dalam setiap percakapan kami.

Aku seperti berapi-api menceritakan tentangmu. Tidak ada yang kulebihkan, tidak ada yang kukurangkan, semuanya kuceritakan dengan nyatanya di lapangan. Aku seperti seakan mulai menanamkan sosok baru dalam kehidupan kami, iya kehidupanku bersama keluargaku. Ini yang pertama dan sepertinya masih banyak rahasia yang membuatku berjiwa membara untuk tahu dan mengetahui.

Pasca empat kali doa bersama kita lakukan, aku seperti menjadi sosok yang tiada henti ingin bercerita tentangmu. Aku bukan lagi embun yang tak cukup berani untuk menjadi hujan walau tak mungkin. Tak cukup berani menjadi sumber mata air walau hanya khayalan. Dan aku yang tak cukup berani mendahului daun untuk tetap bisa hidup. Aku bukan lagi embun, iya pasca aku mengenalmu. Iya, kamu. Jangan menoleh ke kanan kirimu, hanya kamu. Aku sedang berbicara denganmu.

Entah bagaimana Tuhan akhirnya mempertemukan kita. Aku tidak ingin waktu yang lebih cepat, aku menerima kapan saja Tuhan akan mempertemukan kita. Bukankah jika bukan prioritas kita, maka adanya kamu bagiku dan adanya aku bagimu adalah penghalang masa depan? Iya penghalang yang secara cerdas akan meracuni otak-otak kita dengan rasa-rasa abstrak yang seringkali membuat kita bimbang. Tapi tidak, hadirmu bukan benalu. Kamu seperti tunas yang nantinya akan banyak membuatku merasa lebih berguna dan lebih ada. Aku bukan lagi embun itu karenamu.

Sepuluh lewat lima belas, hari baru di kotamu dan kotaku.

Selasa, 05 Februari 2013

Pelangi, Aku Mulai Bermain Hati

Selamat malam untukmu yang satu hari ini mucul berkali-kali dalam lengkungan sinar mataku. Aku pikir kamu akan lekas kembali, nyatanya kamu akan pergi dalam waktu lama. Aku tentu saja tak dapat mencegah, aku seperti dikebiri oleh rasaku sendiri. Bagaimana mungkin akhirnya aku memikirkanmu sepanjang ini?

Aku masih mencoba menepis rasaku sepanjang hari. Iya, bahkan sepanjang kamu belum mengetahuiku, sedangkan aku telah mengetahuimu. Apa kamu berpikir semua ini pamrih? Tentu saja tidak. Aku hanya mencoba membuatmu benar-benar hidup dalam setiap kisahku. Kamu memang bukan wayang yang akan seenak hati aku permainkan, tapi masih bolehkah aku memintamu untuk menambah sabarmu setiap hari dalam menghadapiku?

Kotaku tadi dirundung hujan deras. Tahukah kamu pasca itu bermunculan pelangi yang indah, aku tak sempat mengabadikannya untukmu.  Tenang saja, jangan tanya untuk apa aku bercerita seperti ini. Aku sempat melukis namamu dalam wujud klise pelangi itu. Aku seperti berharap-harap kamu merasakan rasa yang sama sepertiku saat itu.

Setiap kata yang kamu ucap akhir-akhir ini mulai berbeda. Aku seperti mulai berbagi rasa denganmu. Setiap kamu berucap apapun membuatku seakan seiya sekata untuk melakukan. Aku seperti tidak bisa menolak setiap ucapan baikmu yang kuyakini akan menghantarkanku pada waktu di mana kamu bisa melepasku dengan bijak. Jangan takut bukan perpisahan.

Pelangi, jika hatiku ini akan mencair dengan juangku untuknya, biarlah aku sejenak saja tidak menghirup luka. Jika pada masanya takdir kita berbeda biarlah aku terus merapal munajat terbaik untuk ia yang teramat berbeda. Jika cinta enyah dari matamu camkanlah, itu tak menghapus bayangmu sedikitpun dari mimpi yang kupunya, kamu mulai masuk dalam hidupku, jika terbaik yang bisa kuberi akan kuperjuangkan bagaimanpun nanti akhirnya.

Untukmu... Jaga dirimu dengan bijak.

Dua puluh satu dua puluh dua waktu Indonesia bagian barat pasca tiga kali kita bertahajud bersama.

Senin, 04 Februari 2013

Selamat Sore Untukmu di Kota Rantau

Kamu membuatku lebih menyukai bahasa Inggris. Mulai berbahasa dan menyanyi hingga membuat playlist di Nokia X.2.ku lagu-lagu berbahasa Inggris. Kamu pun membuatku lebih suka tersenyum kepada setiap orang yang terlebih dahulu tersenyum ataupun yang lebih dahulu kuberi senyum. Tidak hanya itu, kamu membuatku lebih tertata dalam menjalani hidup, mulai aktivitasku sebagai mahasiswa semester empat, sebagai organisatoris, aktivitas sosial, bahkan hanya sebagai wanita yang belajar untuk bermasa depan. Aku merasakan kehadiranmu dalam setiap hal yang kulakukan.

Kadang aku tak perlu lirik dalam instrumen yang selalu aku dengarkan, karena kamulah lirik yang selalu memberi kesan. Kadang aku tak perlu awan untuk membentuk hujan, karena rasaku kepadamu tak jarang membentuk hujan dalam bayangan kecilku. Aku begitu menikmati setiap detik yang memunculkan perasaan abstrak ini. Semua begitu menjadikanku berarti, aku tak peduli sejenak atau hingga nadiku tak berbunyi. Kamu pernah hadir dan itu lebih dari cukup.

Entah bagaimana caramu memaknai hadirku, bukankah kita memiliki cara sendiri dalam memaknai kehadiran kita masing-masing? Sore ini kotaku hujan, bagaimana dengan kota rantaumu? Apakah tugu di kotamu itu juga basah oleh tiupan doa dari kotaku. Iya, aku mengirim rapalan doa terbaikku melalui hujan. Kamu merasakah?

Tahukah kamu jika abjad awal nama kita dipasangkan maka akan membentuk plat awal kendaraan kota asalmu? Itu menarik, apakah itu berarti aku nanti akan kamu bawa ke sana dan menjadi babak baru dalam setiap dramatisasi hidup yang kita alami. Semoga aku tidak hanya mengandai, semoga Tuhan menyamakan rasa kita, iya rasa kita. Rasa kamu dan rasa aku. Entah kapankah keajaiban itu menjemput mimpi-mimpi lugu kita. Untuk kamu yang saat ini menikmati tampilan sistem pengambilan matakuliah yang baru yakni dengan tampilan musik, lekaslah pulang. Kota kita yang berdekatan ini sebentar lagi akan hujan.

Enam belas mendekati tiga belas waktu Indonesia Bagian Barat

Bukankah Kamu Juga Begitu My Engineer?

Selamat pagi kotaku yang masih memesona. Aku kembali pagi ini bersamamu dalam rasa yang berbeda. Iya, berbeda dari sekitar hampir dua bulan yang lalu saat aku mengunjungimu. Bersama rasa-rasa asing yang menggelayuti akhirnya aku dapat bersua denganmu kotaku yang penuh cerita. Sempat aku berpikir bagaimana jika Jokowi saja yang memimpin dirimu saat ini, tentunya dengan harapan jalan-jalan yang merusak onderdil kendaraan itu segera mulus seperti jalan Tol Porong-Surabaya, museum, sisa benteng yang tersisa terselamatkan dan tak punah, dan kemajuan dalam bidang pertanian pun dapat dirasakan oleh para petani yang bekerja tanpa lelah dan henti. Itu mimpiku pada kotaku.

Hei kotaku, aku pulang bersama sosok baru yang begitu berbeda denganku. Ia pernah menebak kehadiranku dengan kata kunci aku sedang mencari yang berbeda, entah benarkah atau tidak bukan menjadi suatu jawaban pasti yang harus aku katakan. Ini dinamika, ada kalanya memang alam yang pantas menjawab. Aku seperti bahagia. Aku seperti merasa bahwa mimpi-mimpiku akan semakin dekat.

Kadang aku seolah tak peduli bagaimana ia dengan perempuan yang bersamanya. Aku tak pernah berpikir mereka akan berpisah. Bukankah alam masih mengajarkan bahwa berbagi kebahagiaan merupakan satu dari sekian amal yang sangat dicintai Tuhan? Tentulah ketika mereka bahagia kemudian ternyata Tuhan memberiku takdir yang lebih baik maka kita akan bersama-sama saling bahagia? Bahagia itu kemudian melebur dan kita akan menua bersama dengan kebahagian. Ini hanya dramatisasi mimpi yang pantasnya tak perlu terpublikasi sepagi ini. Itu nanti, bukan sekarang.

Kotaku, aku ingin mengenalkan sosok baru itu kepadamu melalui setiap kebaikan yang muncul pasca aku merasa pertatutan itu ada akhirnya, kapankah itu? Entahlah. Kini aku dan ia masih sama-sama sedang menyelesaikan cerita kita masing-masing. Seperti sosok fiksi yang digadang-gadang akan menemani tuaku dan tuanya nanti. Kita hanya bisa sama-sama saling merapal doa, saling sama-sama meraih cita, saling sama-sama menghadapi lara, liku, duka bersama. Iya, saat ini kita memang sedang bersama dalam kasih Tuhan. KasihNya melebur dalam setiap percakapan kita yang masih jauh, namun kita mulai mempermainkan rasa, kita merasa rasa itu harus diikutserakan. Kita mengenal dengan saling tidak sengaja, kemudian bertukar cerita dan mimpi tentang asa, kemudian berinteraksi tanpa rasa dan akhirnya merapat dengan lekukan lara dan duka. Aku masih berharap esok akan ada cerita baru yang lebih membahagiakan.

Entah rasa apa ini, aku masih bermunajat ini rasa yang menyenangkan. Bukankah kamu juga begitu My Engineer?

Kota Awalku, Empat pada bulan kedua masehi dua ribu pasca dua ribu dua belas.

Sabtu, 02 Februari 2013

Wellcome My Engineer

Dimensi waktu ini mengaduk-aduk rasaku, membuatku merasa kelabakan. Seakan gemetar, seakan dag dig dug, seakan dan seakan mimpi-mimpiku menjadi dekat. Aku begitu lugu menerimanya, dengan seraya yang tak pernah bisa aku ungkap dalam pintas masa laluku. Aku seakan ingin menendang-nendang tembok sifon hijau itu, bukan karena aku tidak siap, lagi-lagi hanya saja seakan mimpi-mimpiku semakin dekat.
Entah bagaimana rasa itu dapat melibatkan seluruh hormon ini sehingga seiya sekata... Aku hanya semakin tak mengerti saja, apakah fiksi-fiksi itu mulai akan menjadi nyata. Bukan hanya fiksiku, tapi juga setiap mimpi-mimpi yang pernah aku tuliskan pada kertas biru di atas samudera. Semua seakan dekat, kita tanpa meninggalkan masa lalu dan kita yang sama seakan-akan suka tanpa menutupi cerita-cerita kita sebelumnya. Aku fikir aku mulai akan bahagia.

Mekanika itu semakin merasionalkan pemikiranku. Ia datang dan seakan membuatku tidak abu-abu lagi, inginku semua berbeda, inginku semua ingin-inginku yang lain menjadi nyata tak terkecuali rasa. Entah rasa apakah itu? Aku tak mampu menjawabnya, seakan mengalir, seakan bercerita dengan sendirinya, dan seakan-akan aku diarahkan pada arti kata ‘menerima’. Iya, menerima bedanya kita.

Aku mengalun tulisan lewat setiap rangkai kata yang terkadang tak rasional, tapi kamu mengatakannya indah karena jarang mendengarnya. Kamu begitu antusias dengan kelogisan dalam setiap pemikiran, aku diam menyimak dan menganggap itu luar biasa. Semua seakan teriring tidak percuma, adamu dan adaku seakan kita sama-sama butuh. Mungkin saja ini benar?

Kita mungkin pernah saling sama kecewa karena cerita. Kita mungkin pernah saling sama terluka dalam menjalaninya. Kita mungkin pernah sama dan seakan akan sama dalam setiap rasa-rasa yang pernah sama kita rasakan. Itu dulu, bukan sekarang. Lalu kini entah sejenak, entah selamanya aku tak lelah bermunajat Tuhan begitu menyayangiku dengan sekian caranya, aku ingin menyambut dan memperlakukannya dengan istimewa. Dan lagi-lagi entah klise entah bukan.

Kini kita saling menyebut dengan nama. Kini kita saling mengisi dengan cerita. Kini kita saling bertahan dengan realisasi mimpi. Kini kita ada, iya ada dengan makna kita masing-masing. Tiga ratus lima puluh enam hari dikali lima atau tujuh apakah benar kita ada untuk saling meluruskan tulang rusuk kita yang bengkok? Wellcome My Engineer, begitu aku menyapamu dalam setiap fiktifku.

Malang, Dua Februari Masehi Kedua Dua Ribu Pasca Dua Ribu Sebelas