Kamis, 28 Juni 2012

Untitled

Di setiap pertemuan pastilah terselip harapan-harapan yang cukup Tuhan dan kita yang mengetahui. Seperti pertemuanku dan kamu sore tadi. Pertemuan yang kita sempat-sempatkan, pertemuan yang kita curi-curi dengan pertimbangan banyak hal, dan pertemuan dengan tema 'sekejap', tidak seperti biasanya memang, kali ini tiga puluh menit saja tak ada, padahal kita mungkin sama-sama menanti pertemuan ini. Mungkin menanti untuk bertemu atau bahkan mungkin menanti untuk digagalkan.

-to be contiuned-

Rabu, 13 Juni 2012

Perbedaan Itu Indah Dalam WaktuNya

Perbedaan itu indah, katanya. Perbedaan itu bagaikan komponen dan unsur yang saling melengkapi. Perbedaan itu bagaikan satu sistem yang akan merangkai mozaik menjadi lebih indah. Perbedaan itu komplek, perbedaan itu padunan-padunan aroma yang belum memadu padahal berasal dari satu paduan unsur pembentuk yang teramat padu. Perbedaan itu katanya seperti si kaya dan si miskin, si cantik dan si buruk rupa, si kurus dan si gendut, si pendiam dan si cerewet, si cerdas dan si bodoh, dan kataku mungkin seperti si kamu dan si aku.
Namun anehnya aku merasakan perbedaan itu bagaikan suatu hal yang akhirnya menjadi suatu jurang pemisah. Jurang kesenjangan yang terbentuk akibat ketidakpekaan yang memiliki dominasi lebih tinggi kepada si pemilik dominasi yang dianggap lebih rendah yang seharusnya lebih diayomi. Apakah kamu pernah tahu perbedaan itu adalah seperti kita, iya kita, dua manusia ciptaan Tuhan yang satu namun memiliki banyak hal yang sering disebut perbedaan.
Tuhan menciptakan manusia dengan cara yang sama, namun di mayapada ia disembah dengan cara yang berbeda. Kamu menggenggam tangamu saat mengingat Tuhanmu dan aku menancapkan dahiku saat mengingat Tuhanku. Kamu pergi ke bangunan yang disebut gereja sedangkan aku pergi ke bangunan yang disebut mushola. Kita mengatakan Tuhan kita ‘Allah’ dengan intonasi vokal yang tak sama. Lalu apakah ini sebuah perbedaan? Apakah ini sebuah hal yang disebut dengan ketidaksamaan yang menurut banyak orang bisa disebut dengan kata lain perbedaan.
Apakah ini perbedaan? Kamu naik mobil aku jalan kaki, kamu putih sipit seperti cina aku mutlak tulen seperti jawa, kamu cerdas dan aku biasa saja, kamu dari keluarga berada dan aku dari keluarga sederhana, kamu dewasa dan aku seperti anak-anak, kamu simpel serta easy going dan aku kaku serta sensitif, dan ini yang membuatku kita semakin berbeda, aku teramat sering mengingatmu dan kamu teramat sering tidak pernah mampu membaca situasi itu. Apakah itu semua perbedaan?
Kita memang selalu berbeda. Berbeda dalam segala rupanya, polanya, lakunya, bahkan sampai hal-hal yang tak terlihat pun kita memanglah berbeda. Kita berbeda, tetapi aku masih berharap perbedaan kita indah seperti mereka. Mereka yang akhirnya bersatu dengan perbedaan yang dibuat indah bukan subtitusi. Perbedaan dengan segala rasa peka yang dimiliki. Perbedaan dengan koridor menoleransi, dan ini perbedaan dalam balutan rasa dari Tuhan. Rasa yang akhirnya dapat menepis perbedaan. Rasa yang akhirnya dapat menjadikan aku dan kamu menjadi kita, menjadi kami, dan menjadi satu dari sekian cerita yang akhirnya disebut mereka. Aku masih percaya perbedaan itu indah dalam waktuNya.

Rabu, 06 Juni 2012

Karena Kamu Samar Dalam Kamuflaseku.

Terhempas dan akhirnya mati.

Bagaimana aku bisa mendeskripsikan hidup ini, sulit tanpamu. Iya, sulit tanpamu ada di sini, sulit tanpamu jika semomen saja kamu tak bertanya padaku. Sesulit aku mengikuti apa mau daun-daun jatuh berguguran setiap aku melewati jalan itu. Sesulit aku bernafas saat aku menangis meratapi perasaan absurd ini. Entah perasaan apa, perasaan gila yang semakin menjadi, gila karena siapa? Entah, tapi aku ingin ini bukan gila karena kamu. Tapi bodoh sekali, aku tetap saja tak ingin seorang pun menjustifikasi jika aku gila karena perasaan yang membuat aku menangis setiap mengingatmu, setiap malam, setiap pagi, bahkan saat hendak meninggalkan senja.

Hei kamu, aku tak menyuruhmu juga merasakannya. Merasakan saat aku sakit mengingatmu, saat aku hanya bisa membaca pesan-pesanmu di inbox handphoneku, saat aku melihat daftar panggilan masuk di list handphoneku, saat aku ingat momen itu, momen apa? Ah, lupakan, mungkin tak berarti banyak bagimu. Gila bukan, apa ini? Aku tak mau ada satu manusia yang dapat mengidentifikasi perasaanku ini. Aku juga tak ingin mengatakan aku lelah, aku hampir mati (kalimat bodoh manusia primitif zaman bahula).

Hei kamu, tulus itu tak pamrih, tulus itu tak berharap disambut kembali, tulus itu tak ingin menyakiti, tulus itu suatu elemen rasa yang tak dapat dengan mudah terdeskripsi. Hei kamu, tulus itu seperti ini mungkin, seperti perasaan absurdku ini padamu. Pada kamu manusia yang membuatku hampir menjadi sosok aneh setiap mengingatmu, tersenyum sendiri, tertawa sendiri, bahkan menangis sedih tersendiri. Seperti ini tuluskah? Atau aku terlalu pengecut untuk mengatakan apa yang aku rasakan setiap aku ingin membangkitkan semangatku.

Aku hanya bisa melihatmu dalam bayang-bayang kaca samar. Aku hanya bisa memandangmu dalam pantulan-pantulan sinar abstrak. Aku hanya bisa memikirkanmu dalam sisa imaji kelabu. Aku hanya bisa mengatakan yang aku rasa pada bayangan separuh hatimu yang masih diterbangkan Tuhan. Aku ingin menyakini separuh itu aku, atau mereka yang lain?

Aku tak ingin subyektif memandangmu,
Karena kamu samar dalam kamuflaseku.

Selasa, 05 Juni 2012

Urbanisasi: Estafet Menuju Perbaikan Pendidikan

Urbanisasi: Estafet Menuju Perbaikan Pendidikan
Oleh: Afifah Qodri Rinjani*
Pendidikan merupakan salah satu eskalator dalam mengubah garis kehidupan seeorang. Kalimat tersebut kiranya tepat mewakili sebuah fenomena betapa pentingnya pendidikan bagi semua. Pendidikan nyatanya merupakan cara ampuh sebagai tongkat estafet pemutus rantai kemiskinan. Iya benar, dari pendidikan maka seseorang bisa mengubah strata status sosialnya. Pendidikan ditujukan  bagi si kaya, si miskin, si pejalan kaki bahkan si pengendara merci, bagi yang duduk berjejal di emperan toko, sampai pada mereka yang duduk santai di sofa yang empuk, hal tersebut merupakan suatu fenomena yang mencerminkan pendidikan memanglah diperuntukkan bagi semua, tidak memandang status sosial bahkan ras maupun agama.
Berbicara mengenai pendidikan tidak lepas dari perannya sebagai salah satu fasilitator yang menciptakan kesejahterakan kehidupan masyarakat. Seperti kita tahu sekolah merupakan lembaga yang menjalankan sistem pendidikan. Sekolah merupakan salah satu ciptaan kaum intelektual yakni kaum empiris yang dirancang sedemikian rupa untuk suatu tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tertentu tersebut kemudian diadaptasi dan diolah oleh suatu wilayah melalui pemerintahannya, untuk satu tujuan yang diperlukan wilayah tersebut. Salah satu tujuan dari pendidikan adalah sebagai fasilitator yang dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, atau bisa dibilang pelaku pendidikan itu sendiri. Hal tersebut seperti analisis dari sebuah teori yang dikemukakan oleh Djuju Sudjana (1996:31), ia menyatakan modal itu dalam dirinya sendiri yang tersirat dalam human capital theory, bahwa manusia merupakan sumber daya utama, berperan sebagai subyek baik dalam upaya meningkatkan taraf hidup dirinya maupun dalam melestarikan dan memanfaatkan lingkungannya. Jadi, sebagai pelaku yang menggunakan salah satu fasilitator yang bertujuan sebagai peningkat taraf kehidupan, manusia sudah bersimbiosis mutualisme dengan sistem yang memang diciptakan sebagai peningkat kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan merupakan upaya manusia meningkatkan harkat dan martabat. Hal tersebut seperti pernyataan Rusli Lutan (1994), ia mengatakan pendidikan pada hakekatnya tetap sebagai proses membangkitkan kekuatan dan harga diri dari rasa ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan keserbakekurangan. Dari pernyataan Rusli Lutan tersebut dapat dianalisis, bahwa untuk membangkitkan kekuatan dan harga diri dari rasa ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan keserbakekurangan, manusia sebagai pelaku pendidikan dapat melakukan berbagai cara agar memperoleh pendidikan yang merupakan eskalator peningkat taraf hidup masyarakat. Cara-cara tersebut beraneka ragam, salah satunya adalah urbanisasi. Urbanisasi merupakan suatu kegiatan perpindahan penduduk dari desa ke kota atau bisa dikatakan juga perpindahan penduduk dari daerah kecil ke pusat pemerintahan. Kegiatan tersebut juga merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan kemampuan finansial seseorang.
Korelasi antara pendidikan dan urbanisasi terlihat dari tujuan seseorang tersebut melakukan kegiatan urbanisasi. Urbanisasi seringkali dilakukan untuk menaikkan derajat kehidupan seseorang, terlebih untuk sekadar mendapatkan pendidikan yang layak. Seperti studi kasus yang dilakukan di Alun-alun Kota Malang awal April 2012. Salah satu objek studi kasus tersebut adalah seorang bapak penjual Tahu Sumedang berinisial (SN), ia melakukan urbanisasi dari desa terpencil di Kabupaten Sumedang ke Kota Malang bukan hanya sekadar untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, dalam arti dapat mencukupi kehidupan keluarga, lebih dari itu ia mengatakan melakukan urbanisasi untuk menyekolahkan anak-anaknya, agar keturunannya dapat memutus rantai perekonomian keluarga yang kurang memadai.
Evidence konkret di atas menunjukkan bahwa seseorang akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh pendidikan secara optimal. Bagi sebagian orang hal tersebut tidak dapat dipungkiri, mengingat tingkat kemakmuran satu kota dengan kota yang lain memanglah berbeda. Tingkat kemakmuran satu kota dengan kota yang lain sendiri, salah satunya dapat dilihat dari upah minimum regional (UMR) yang sudah ditetapkan suatu daerah tersebut. Walaupun tidak semua masyarakat merasakan dan mendapatkan UMR, karena tidak semua masyarakat merupakan pekerja sektor swasta.
Untuk suatu perbaikan dibutuhkan suatu tindakan. Begitu juga yang dilakukan oleh bapak berinisial (SN), ia melakukan urbanisasi karena merasa kurang sesuai dan  kurang nyaman jika harus stagnan dalam  posisi pra urbanisasi. Tuntutan biaya kehidupan yang semakin meningkat, meliputi kebutuhan sehari-hari hingga biaya sekolah anak, membuatnya mengambil tindakan urbanisasi. Di sini lagi-lagi pendidikan merupakan alasan untuk melakukan perbaikan taraf kehidupan seseorang. sama halnya ketika kita mengetahui fungsi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Sebagai civitas akademika yang mendalami dan konsentrasi program di bidang pendidikan, sudah tentu mendapatkan teori mengenai fungsi dan tujuan dari diadakannya pendidikan itu sendiri. Namun, sebagai civitas akademika yang dipersiapkan untuk terjun langsung ke masyarakat suatu saat nanti, penggalian dan implementasi dari teori yang didapat untuk mengkaji suatu hasil sistem pendidikan haruslah sering dilakukan. Hal tersebut dikarenakan agar calon pendidik lebih peka terhadap realita kehidupan sosial dalam bermasyarakat, terutama yang erat kaitannya dengan pendidikan, sehingga fungsi dan tujuan pendidikan yang telah diketahui teorinya dapat terimplementasi.
Pendidikan merupakan pilar utama pembangunan nasional. Pendidikan dapat mengubah segala aspek kehidupan, mulai politik, stabilitas keamanan, hingga ekonomi. Urbanisasi dengan konsep yang telah disediakan dan dengan struktural sistem yang bagus ternyata memiliki andil yang cukup besar dalam menyukseskan pendidikan bagi semua (education for all). Tidak hanya urbanisasi bagi pendidikan, bahkan sumbangsih pendidikan bagi tujuan urbanisasi itu sendiri. Banyak jalan menuju ke Roma, banyak hal yang bisa dilakukan untuk turut serta menyelesaikan benang merah pendidikan di Indonesia, bukankah begitu? 

* Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya 2011