Jumat, 18 Mei 2018

Hanya Fiksi!

...Aku tak pernah memaksamu untuk selalu tinggal. Sering aku mengusirmu pergi dari segenap ingatan yang kumiliki. Hanya kusisakan satu ruang masa lalu yang di dalamnya hanya kuletakkan kepasrahan pada takdir. Aku mengusirmu jauh-jauh. Aku berlari dengan segenap masa depan yang kupilih. Aku tidak pernah membiarkanmu tinggal sedikit pun. Lalu mengapa kini bak jaring laba-laba pengabaian itu membentuk jaring yang justru membuatku hanya diam di tempat Mas? Dua puluh lima tahun berjalan, aku ingat pasti di bawah bianglala malam itu bukan semata fiksi yang kubuat sendiri untuk menyenangkan hatiku. Nyatanya aku pernah mengangan sejauh aku pernah melakukan perjalanan. Selamat malam, bolehkah aku menyapamu lagi malam ini?

Sepertinya tak pernah ada yang berbeda setiap tahunnya. Aku tak pernah bisa menyapa jika tak melalui tulisan-tulisan usang setiap malam. Sama persis dengan dua puluh lima tahun yang lalu. Kita hanya rutin mengirimkan salam selepas maghrib pada stasiun RRI Pro 2, tempat nangkringnya salam-salam rindu anak-anak muda seperti kita. Kita yang tak pernah memiliki ruang untuk berbagi cerita di dunia nyata. Hanya mengudara melalui tulisan di blog apatis atau pun suara sumbang penyiar radio kebanggaanmu. Kita hanya bisa berbalas cerita lewat tulisan-tulisan berisik yang mengusik setiap cerita di masa lalu. Benar saja, bukankah hari ini kita sedang merayakan kebahagian dengan masa depan masing-masing? 

Dalam sebuah janji yang tidak pernah tersampaikan, kita pernah mematrinya begitu dalam. Tidak ada ucapan-ucapan seremonial dua puluh lima tahun yang lalu. Kita hanya merapal sebisa kita meminta pada takdir yang akan menghampiri. Janji-janji itu kokoh terpatri dalam kala itu, terpupuk setiap masa dan menjadi keyakinan kita di masa depan. Namun, nyatanya kita tak pernah menepatinya. Kita sama-sama pergi dan menyerahkan masa depan pada setiap musim hujan yang menghampiri, pada setiap musim panas yang datang penuh harapan dan pada takdiri sesuai dengan keyakinan utuh kala itu.  Hingga pada satu titik dengan yakinnya kita memutuskan masa depan dengan orang-orang terbaik yang memiliki nyali lebih besar dari nyali kita. Aku lupa, nyatanya aku bukan hanya sekadar menyapa, melainkan sedang membuka rekaman-rekaman masa lalu yang angkuh untuk diterjemahkan. 

.....

(bersambung)