Sabtu, 12 November 2016

Penggalan Tak Utuh Tentang Bapak

...Ke manapun akhirnya muara dari jalan hidup yang kupilih, tak sedetik pun aku hendak meninggalkan Ngawi dan Indonesia...

Dua puluh tiga tahun yang lalu aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapakku seorang guru sekolah dasar yang berjarak tempuh hampir 15 km dari rumah kami. Beliau ditempatkan di daerah yang dapat kukatakan cukup pedalaman, bagaimana tidak? Saat ku masih belum menempuh bangku sekolah dasar, aku sering diajak bapak menemaninya mengajar di sekolah dasar tersebut. Ingat betul, jalanan yang tak beraturan, lubang rusak mengkhawatirkan, seperti tak ada lagi kehidupan karena kami harus menempuh jarak yang tidak sebentar, hutan rimbun yang ketika lepas hujan dan menjelang senja amatlah menyeramkan, bapak pergi mengenakan sepeda motor vespanya. Ada satu yang sering membuatku bahagia, ketika berangkat dan pulang sekolah para murid bapak bahkan warga sekitar sekolah tempat bapak mengajar, sering memberi senyum pada kami. Aku bahagia karena itu kali pertama yang masih sangat kuingat tentang arti kebahagiaan. Aku pun masih ingat benar sekolah dasar tempat bapak mengajar tertutup oleh kebun tebu yang begitu luas. Menyamai gerbang sekolah kala itu, maklum sekolah tempat bapak mengajar tak memiliki gerbang kala itu.
Mungkin sejak itu aku memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Entah itu cita-cita terburu-buru ataukah nyata demikian. Wali kelas ketika ku kelas enam meminta semua siswa mengisi buku memori yang berisi identitas singkat, tak pelik pastilah ada cita-cita yang harus dituliskan, dengan girangnya kutulis aku ingin menjadi seorang guru. Cita-cita itu ketika ku mulai menginjak usia remaja kuanggap cita-cita yang paling spesifik di antara cita-cita temanku pada buku memori tersebut. Mayoritas mereka menuliskan ingin berguna bagi bangsa, agama dan negara. Sebuah cita-cita yang ketika ku menginjak remaja adalah kategori cita-cita paling famous atau populer, tetapi cita-cita yang kala itu bagiku paling tidak spesifik. Kuingat benar hanya satu kolom yang kosong kala itu, iya, kolom nomor telepon. Kolom itu tak kuisi gegara memang bapak dan ibuk belumlah memiliki telepon. Kuingat benar kala itu telah masuk kisaran tahun 2004, dan wartel merupakan satu-satunya tempatku untuk bisa berkomunikasi dengan mereka. Bapak pun tak jarang pergi ke rumah teman mengajarnya di kota, tidak hanya untuk bersilaturahim tetapi juga untuk menitip surat atau sekadar meminjam telepon rumah. Tak akan pernah habis jika kuharus menceritakan tentang bapak. Dewasa ini bapak pertama kalinya menceritakan padaku, bahwa sebenarnya tatkala ia lolos tes sebagai calon pegawai negeri sipil, bapak pernah ditawari untuk mendapatkan penempatan yang tak begitu jauh dari rumah kami, tetapi dengan syarat bapak harus membayar sekian puluh ribu rupiah untuk penempatan tersebut, tentulah bapak menolak. Bagi bapak, itu adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Jikalau mungkin tak demikian ceritanya, tentu tak akan ada cerita-cerita mengharukan dan berhikmah bagi kehidupanku. Sampai sekarang pun bapak masihlah harus kokoh untuk terus mengabdi pada sekolah dasar tersebut, aku semakin paham, ada nilai dasar yang bapak tanamkan padaku tentang berkehidupan. Kerja keras untuk mengabdi tak usai lekas. (bersambung)