Senin, 25 Agustus 2014
Minggu, 24 Agustus 2014
Pagi-Pagi
‘Kamu tidak mengerti
apapun tentang hidupku sekarang!’ ucap perempuan.
‘Iyakah?’ sahut
lelaki.
‘Sangat mengiyakan,
telah banyak yang berubah, telah banyak yang hilang, telah banyak yang
terlewatkan,’ jawab perempuan.
‘Sebanyak itu?’ sahut
lelaki.
‘Iya, sebanyak itu,
sebanyak hari setelah aku memutuskan bersamanya, sebanyak waktu yang telah aku
habiskan dengannya, sebanyak hal yang telah aku berikan padanya,!’ ucap
perempuan.
‘Kamu masih sama.’
Ucap lelaki.
‘BEDA!’ sentak
perempuan.
‘Kamu masih sama,
kamu tidak berubah, kamu tidak kehilangan banyak hal, kamu belum melewatkan
banyak hal, kamu juga sama sekali belum memberikan apapun, kamu masih utuh, dan
nyatanya aku berani mengatakan semua ini, aku di hadapanmu sekarang, dan kamu
tahu aku tidak bisa berbohong!’ ucap lelaki sedu.
‘Kamu akan
kecewa.’ucap perempuan sedu.
‘Perkiraanmu selalu
meleset, kamu bukan perempuan yang pandai menebak, Rinjani...’jawab lelaki.
‘Untuk apa pagi ini
kamu di depan tempat tinggalku?’ tanya perempuan
‘Aku ingin kamu
bukakan pintu, kau ajak aku masuk ke teras untuk kali pertama, kau suguhi aku
segelas teh tawar dan obrolan hangat, kita berbincang tentang resolusi yang
telah terlaksana, mengubah resolusi yang tertunda, memperbaharui setiap hal
yang di luar rencana, hidup bersamamu membuatku mengerti arti mengejar,
memahami arti membendung untuk menjaga, dan hari ini aku kembali karena aku
tahu hanya bersamamu aku bisa menjalani itu semua. Aku tidak membutuhkan
jawabanmu gadis penyuka bunga Matahari, penggemar keliling kota bersepeda,
penggila es batu, dan yang tidak pernah sekalipun merajuk padaku,’jawab lelaki.
Pagi ini aku mengerti makna kembali.
Kamu mengajarkan semua, hanya dengan ketenangan, hanya dengan kesabaran, hanya
dengan memercayai dan berbaik sangka, akan datang lentera yang tepat, yang akan
melenyapkan gelap, menambah resolusi terang, dan membuatmu merasa tidak pernah tidak
merasa beruntung. Aku mengerti, pagiku hari ini sempurna.
Untuk cela yang kulakukan, untuk
setiap hal yang hilang, terlewatkan, kamu yakinkan aku bahwa Pencipta
kita Pemaaf, ‘berjalanlah terus untuk membuka pintu maafNya’. Terima
kasih untuk seperempat matahari. J
Salam Hangat,
Kotaku, Dua puluh empat bulan ke
delapan tahun bernama Dua ribu empat belas. (Segenap hati)
Kamis, 24 Juli 2014
Stay Or Leave?
bagi saya:
"Konsep pantangan MENIKAH antara anak nomor satu dan anak nomor tiga (JILU) dalam tradisi keluarga terasa LEBIH BERAT dibanding dengan konsep pantangan MENIKAH bagi yang berbeda keyakinan".
- Beda Keyakinan = Jika merasa keyakinan pasangan MEMANG lebih baik, masih bisa untuk berpindah untuk saling menyamakan. (walaupun tidak semudah itu.
- Konsep Jilu = Manusia tidak bisa memilih kapan ia dilahirkan, konsep ini hanya akan membuatmu bilang 'STAY OR LEAVE' -
(perenenungan enam tahun)
Minggu, 29 Juni 2014
CERITA PERTAMA RAMADHAN
Yang ditunggu
akhirnya datang, di hati terasa riang.
Marhaban
ya Ramdhan, dari semua bulan kamu tetap paling diIdamkan.
Selamat malam
teman – teman. Terkhusus untuk beberapa nama yang meminta saya menulis kembali
di blog newbie ini, saya akan menurutinya. Alhamdulillah leganya hati
walau sebenarnya dua tanggung jawab menanti besok sore, yakni Revisi
Sosiologi Sastra dan Analisis Wacana (cerita berjuang sampai akhir) padahal
senin pagi sudah harus sampai di Kominfo Provinsi (A. Yani Surabaya).
Yapsss! Lebih kurang sebulan saya akan menjadi pendatang di Kota Pahlawan (katanya)
Surabaya. Berbicara tentang Surabaya saya jadi ingat kisah Suro
& Boyo serta Kalimas yang saya baca waktu duduk di bangku SD (tepatnya
setelah saya diberi buku CERITA RAKYAT yang masih ada lebel RAMAYANA setelah
mendapat Juara 1 oleh Guru IPS saya, namanya Pak Nurul Hakim). Saya
suka membaca cerita rakyat sejak kecil. Eitsss...KEMBALI FOKUS yakkk!
Surabaya merupakan salah satu kota PALING berkesan, tepatnya sekitar tahun
2009, saat itu saya NEKAD mengikuti MEDSPIN di Universitas Airlangga (saya
bela – belain berangkat setelah pulang sekolah langsung ke Surabaya, padahal
saya ndak tahu Surabaya itu di mana), saya hanya berpikir Surabaya itu dekat
dengan Caruban – Madiun. Usut punya usut dengan restu dari pembimbing karya
tulis dan teman –teman tim, cusss saya berangkat ke Surabaya. Kisah pun
di mulai yang intinya saya diperebutkan oleh seorang bapak - bapak dan ibu
– ibu, niatnya mereka ingin menolong saya, karena saya seperti orang hilang
di dalam bis, maklum hp saya yang Sony E J210i lowbat dan off. Singkat
kisah, akhirnya saya memutuskan memilih ibu – ibu, lalu saya diminta beliau
membawakan kerupuk sekarung dan tanpa disangka beliau memberi saya makan (untuk
ibu – ibu yang baik, salah satu penjual lalapan di Pasar Turi, terima kasih
banyak atas kebaikannya dahulu). Sebenarnya LEBIH mendramatisir, tapi
singkat saja akhirnya saya dijemput oleh 4 mahasiswa Kedokteran Unair (mereka
sangat baik, saya ditraktir makan lagi, bayangkan! Untuk kak Berlin, kak Andra,
kak Didin, dan kak Adrian, terima kasih dan Selamat menjadi dokter
muda semangat pula menebar manfaat).
Surabaya
selalu memberi kesannya. Januari 2010 saya pun mendapat kesempatan mengunjungi
Kampus C Universitas Airlangga untuk acara Games Ilmiah di Fsaintek. Kebersamaan
bersama Tri Rahma Dina Yanti, Wilujeng Fitri, Maria Ulfa dkk menjadi momen yang
tidak terlupakan. Bareng – bareng nginep di kontrakan yang ndak jelas tapi
nyaman, nyobain lalapan di pinggir kali yang puedes rasanya (saya cocok),
hingga bertemu dengan kawan – kawan baru, bahkan sampai hari ini saya masih
berkomunikasi dengan mereka. Semua kenangan itu terpatri, mengalahkan
rasa ingin menang dalam sebuah kompetisi. Perlu saya ceritakan bahwa
dari semua kompetisi yang saya ikuti yakni LKTI di Unesa, UM, Unair bahkan
Games Ilmiah tak satupun yang dapat saya genggam kemenangannya. Tetapi lucu,
Tuhan tidak memberikan saya rasa sedih, saya dibuatNya riang dan senang,
karena pengalaman dan kebersamaan tak pernah luput dari Ingatan. Mungkin
memang saat itu saya belum mampu menjadi yang paling beruntung dari semua
peserta, saya tetap menyukai kegiatan menulis, saya menyukai ribetnya
membuat karya tulis, dari sini saya tahu rasanya berjuang, hingga Allah
mempertemukan saya dengan Universitas Brawijaya. Pendapat saya tentang
Surabaya pun berubah, dari yang antipati karena pikiran Surabaya itu
panas, Surabaya itu banyak comberannya, Surabaya itu macet, Airnya ndak seger
buat mandi, menjadi Surabaya bagian dari hidup saya untuk JULI
ini, dan Ramadhan mempertemukan kami. Semoga magang di Kominfo nanti
dapat bekerja dengan optimal, tidak mengecewakan dan berkah maksimal. Aminn...
Kisah pun
berlanjut apa sih yang sudah dipersiapkan untuk Ramdhan tahun ini? Jawabannya
adalah poin – poin di bawah ini:
1. Lebih
tepat waktu 5 fardhu, dluha, tahajud dan tilawahnya (target tilawah)
2. Tambah
satu juz...lagi hafalannya (syimingit!!!)
3. Kurangi
berat badan (anjuran ibuk dan bapak, semangat olahraganya –LOOO--)
4. Optimal
asah potensi saat magang, pasca magang makin mantap arahan berkarir.
5. Optimalkan
presentasi monev PKM dan siap – siap laporan akhir (harus upload TEPAT
WAKTU, salah satunya agar beruntung ‘dapat undangan itu – tu J’
6. Semangat
sebar PROPOSAL dan saling nyemangatin TIM, kumpulkan dana agar dapat menghadiri
Conference Competition di sebuah kota yang berada di Benua LAIN serta
bersalju itu. Untuk poin keenam ini salah satu hal yang cukup TERBERAT. ‘Tuhan Yakin Kamu Mampu’ (katanya).
7.
Menyempatkan diri minimal sekali buka dan sekali sahur bersama keluarga
Ngawi.
8. Lebarkan
agenda ‘Memaafkan’, tiba – tiba atas serangkain hal yang saya jumpai dan
rasakan selama 11 bulan, selayaknya luasnya maaf dalam diri selalu diberikan
pada yang seharusnya menerima maaf walaupun tanpa harus berujar (maafkan
saya ya...).
9. Tanamkan
kegiatan ‘Menjauhi dan meningkatkan’. tiba – tiba poin ke
sembilan ini adalah poin yang menjadi tema dalam Ramadhan ini, dari segala
kekhilafan, kesalahan, kekeliruan, rasanya saya harus beranjak, saya harus
bergerak, dan saya tidak akan membiarkan segala penghambat menghalangi IMPIAN –
IMPIAN saya.
10. Nyalakan Semangat.
Satu kata paling bermakna yang membuat saya masih bertahan hingga hari ini.
Semangat karena Allah masih berikan segala karuniaNya, karena ibuk bapak
berikan restunya, karena teman – teman berikan cerita hidupnya, karena saya
tahu bahwa hidup saya tidak JALAN DI TEMPAT, dan karena saya tahu bahwa hidup
saya bukan untuk diri saya sendiri.
Yeee...alhamdulillah
10 target menjadi incaran utama, mohon doanya juga ya J xie xie.
Mengencangkan CITA – CITAmungkin hal
itulah yang ingin saya awali dalam Ramadhan ini, beranjak dari
ketidakbenaran, menjauhi hal yang merugikan, mendekati kembali cara terbaik
untuk dapat memenangkan momen istimewa ini. TIDAK PRAKTIS! Saya
tahu itu, bahkan saya mengerti, tapi entahlah hati mendorong saya untuk
mengencangkan mimpi. Saya pernah bertemu dan saling bercerita dengan
seseorang sore itu, tepat di bawah menara Masjid terbesar di Surabaya, kira –
kira begini inti percakapan kami ‘kami harus mencari ALASAN TERBESAR mengapa
kami harus bertahan hidup, dan kami harus mencari CARA TERHEBAT agar kami tidak
sia – sia dalam menghabiskan hidup’. Sekian dulu ya cerita – ceritanya,
nanti akan disambung lagi. Saya akan menjadi nahkoda yang lebih kuat agar
saya dapat melabuh dengan tepat, SEMANGAT!
1 Ramadhan, 01: 06
(Salam
hangat untuk keluarga, selamat menempuh ibadah puasa untuk teman – teman, dan
semangat kerja praktik untuk yang setiap hari harus mematuhi K3 'pintar - pintar adaptasi ya...')
Kamis, 12 Juni 2014
DOSEN SOSIOLOGI SASTRA :)
Subhanallah...Pak Toni dan Pak Wahyu itu RUAR BIASA kerennya, semangat REVISI Esai :) Terima kasih untuk dua dosen yang sangat menginspirasi :)
Jumat, 25 April 2014
Sinopsis Pulang karya Laela S.Cudlori
Pulang karya Laela S.Cudlori rekam
jejak 1965 – 1998 berkisah tentang Dimas Suryo, Lintang Utara dan Segara Alam.
Tentang cinta, persahabata, pengkhianatan dan keinginan pulang ke Indonesia
setelah sekian lama menjadi eskil politik (tahanan politik) akibat terindikasi
terlibat dalam G/30 S oleh Partai Komunis Indonesia. Cerita setebal 464 halaman
ini merekam jejak sejarah kehidupan para tahanan politik beserta kawan, kerabat
dan keluarganya dalam masa meletusnya G/30 S hingga tumbangnya masa orde baru
yang ditandai dengan didudukinya gedung MPR di Jakarta oleh para aktivis
pergerakan.
Di awali dengan Dimas Suryo, lelaki
asal Solo Jawa Tengah yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia
ini tidak pernah mendeklarasikan dirinya adalah golongan dari kelompok tertentu.
Ia bekerja di Kantor Berita Nusantara yang hampir kesemuanya aktif dalam
kebudayaan Lekra. Ia bersahabat sekaligus berelasi kerja dengan Hananto
Prawiro. Senior yang sekaligus aktif mendeklarasikan ia merupakan golongan dari
orang-orang kiri. Dipertemukannya mereka dengan Surti Anandari anak seorang
dokter dari golongan borjuis yang kemudian mengisahkan Kenanga, Alam dan Bulan menjadikan
kisah mereka teramat panjang dan mengilhami bagian-bagian selanjutnya dalam Pulang.
Dimas yang tidak pernah melabuhkan
dirinya pada suatu ketetapan menjadi bagian dari kelompok tertentu ataupun
tidak memutuskan untuk melabuhkan hatinya pada seseorang terpilih, akhirnya
harus mendulang buahnya menjadi pengelana dan penetap di Perancis pasca
menghadiri konferensi yang ia sendiri tidak begitu mengetahui dan memahami.
Konferensi yang seharusnya dihadiri oleh Mas Hananto tersebut, kemudian
mengajakanya untuk tidak merasakan letusan G/30 S yang pada September 1965 yang
meledak secara serentak di Indonesia. Operasi besar-besaran pun dilakukan.
Pencidukan, penyiksaan, dan teror menghantui setiap keluarga yang diindikasi
terlibat atau bahkan dilibatkan secara sengaja. Dimas yang hanya mampu membaca
surat dari Aji Suryo (adiknya), Surti Aandari (kekasihnya ‘jangka lama’),
Hananto Prawiro (sahabat sekaligus rekan kerja dan diskusi yang menjengkelkan)
serta teman-temannya yang lain di Indonesia merasa bahwa dirinya harus segera
pulang ke Indonesia.
Perancis pun akhirnya harus menjadi
tempat Dimas singgah, bukan berlabuh. Pertemuannya dengan gadis Perancis
Vivienne Deveraux saat aksi di Universitas Sorbonne menjadi awal mula Dimas
memutuskan untuk tinggal berlama di negara yang terkenal dengan Menara Eifelnya
tersebut. Metro dan berbagai sudut menarik di Perancis, aneka kerenyahan sastra
dan musiknya, serta Vivienne yang mengalami le coup de foudre atau cinta
pada pandangan pertama pada lelaki Asia itu pun akhirnya membuat Dimas menghabiskan
waktunya di Perancis. Vivienne pun mengerti bagaimana perbedaan penyuaraan
pendapat di negaranya dan di negara asal lelaki yang dicintainya. Ia pun
menjelma menjadi sosok yang mengerti Dimas Suryo dengan segala sisinya (yang
terlihat, bukan hatinya). Beberapa waktu berlalu dan membuatnya terikat dengan
sebuah perkawinan. Inilah yang kemudian akan mejadi cerita awal dari Lintang
Utara dan Restoran Tanah Air.
Restoran Tanah Air bukti kecintaan
dan kerinduan Dimas, Risjaf, Mas Nug, dan Tjai serta awal rasa penasaran
Lintang Utara pada satu kata I.N.D.O.N.E.S.I.A. Restoran yang menyediakan aneka
ragam masakan Indonesia dengan chef ahli Dimas Suryo yang begitu peka
pada racikan bumbu dan rasa menjadi salah satu restoran tujuan di Perancis.
Menampilkan aneka kebudayaan Indonesia dan berbagai galeri tentang Indonesia di
negara pada benua biru tersebut menambah rasa rindu mendalam pada tanah air
mereka. Dari Restoran Tanah Air inilah juga kemudian persahabatan keempat eskil
politik tersebut semakin erat, bahkan mereka bagai satu bagian tubuh, sama-sama
saling membutuhkan, sama-sama saling merasakan. Restoran Tanah Air inilah juga
yang menjadi saksi bagaimana akhirnya Dimas yang bercerai dengan Vivienne
lantaran ditemukannya surat dari Melati Putih (Surti), saksi kedekatan Lintang
Utara dan Naraya sebelum keberangkatan Lintang ke Indonesia, bahkan hingga
cerita tentang bersih diri dan bersih lingkungan yang menjadi perbincangan
hangat kedutaan besar Indonesia di Perancis. Restoran ini menjadi saksi bisu
bagaimana pemerintah memperlakukan para ‘Warga Negara Indonesia yang dianggap
sebagai eskil politik’, bahkan restorat ini dianggap sebagai sarang komunis.
Kisah pun berganti generasi tentang
anak muda, Lintang Utara begitulah ia diberi nama. Anak perempuan Dimas Suryo
yang tumbuh dengan cerita-cerita wayang, masakan khas nusantara, polemik
politik yang melibatkan ayahnya, menjadi makanan sehari-hari bagi mahasiswi
yang mengambil fokus bidang Sinematografi di Universitas Sorbonne tersebut.
Kekasih dari Naraya seorang laki-laki yang dibesarkan dari keluarga ‘tidak
bermasalah’ ini, akhirnya menuju Indonesia setelah bimbingan tugas akhirnya
yang mengharuskan ia merekam bagaimana kehidupan para kerabat dan keluarga
eskil politik yang dianggap terlibat dalam meledaknya G/30 S. Inilah yang
kemudian mengantarkannya pada bumi asal mula kunyit yang biasa dipajang dalam
toples ayahnya tersebut. Pertemuannya dengan Indonesia itu pun akhirnya menjadi
cerita yang membuka semua kisah tentang Dimas Suryo, dan menjadi bentuk pertautan
rasanya dengan Segara Alam.
Bersama Alam ia pun kemudian begitu
akrab dengan Andini (Anak dari Aji Suryo adik Dimas Suryo yang hidup serba
hati-hati dan memilih pada zona nyaman), Bimo (Anak dari Mas Nug yang tumbuh
dengan Rukmini dan suami barunya yang juga merupakan aktivis militer), serta
LSM Satu Bangsa dengan segala macam isi manusianya dan karakter yang begitu familiar
baginya. Dapat dipastikan Lintang merasakan kenyamanan di Indonesia.
Investigasi berupa wawancara pun dilakukan, berbagi narasumber yang sudah
ditentukan berkat bantuan dari para pemilik Restoran Tanah Air mulai dipetakan,
inilah yang kemudian menguak bagaimana posisi keluarga para tapol 1965, para
pemberangus, dan beberapa tokoh politik Indonesia. Dalam Pulang yang
ditulis oleh wartawan Senior Tempo ini pun menjadi rekam jejak perlakuan yang
seharusnya patut diketahui oleh masyarakat. Ketakutan-ketakutan Surti atas
nasib Kenanga, Alam dan Bulan pasca tertangkapnya Hananto Prawiro dan
didudukkannya mereka bak tahanan yang ditanyai dengan satu pertanyaan sama,
sikap Aji Suryo yang seolah ingin menjadi warga negara dalam posisi aman tetapi
terlihat bijaksana, dan beberapa fenomena lain yang kesemuanya menyudutkan
bahwa segala yang bersangkut paut dengan eskil politik dipersulit untuknya
bahagia, bahkan hingga fenomena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan dengan siapa
ia harus menikah. Diskriminasi atas kesalahan yang belum tentu dilakukan.
Itulah yang mungkin hendak disampaikan.
Tugas akhir Lintang yang
menjadikannya begitu akrab dengan Indonesia itulah yang kemudian menghantarkan
pada satu perasaan, ia seperti terlahir di sini. Perpaduan Indonesia – Perancis
membuatnya merasakan nuansa yang berbeda setiap melewati segala likuk jalanan
Jakarta. Ia pun menyempatkan diri mengunjungi Karet salah satu daerah di
Jakarta yang membuat ia selalu merindukan ayahnya. Dimas Suryo yang sebelum
melepas Lintang pergi ke Indonesia, begitu menyatakan bahwa nanti ia ingin
bertemu Karet. Dimas pun akhirnya pulang dan Karetlah yang menjadi tempat
istirahatnya selama ia pulang. Kepulangan yang didamba itupun tiba juga.
Pesan Masuk 07: 28
Iya, setiap pagi bahkan aku masih sering menangis selepas Shubuh dan di kamar mandi (pesan masuk)
Kamis, 24 April 2014
Sedikit CELOTEH tentang Adz-Dzaariyaat: 49
Selamat
siang teman-teman pembaca setia afifahrinjani.blogspot.com. Semoga hati kita selalu
dalam keadaan baik dan menyenangkan. Siang-siang begini pasti enak menikmati rujak
petis dan segelas es dawet, wahhh... (curcol). Kamis ini saya ingin sedikit
berceloteh tentang konsep pemahaman saya pada Adz-Dzaariyaat: 49. "Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah". Subhanallah, eitsss...tentang jodoh
bukan? Biar ndak salah fokus yuk pantengin lagi. Tulisan ini termotivasi dari
satu fenomena yang secara beruntun menjadi cerita panjang pada lingkungan saya
tumbuh hari ini.
Saya berada pada lingkungan dengan aneka
ragam kepribadian dan pandangan, bahkan keyakinan. Beberapa teman saya masih
cukup banyak bahkan banyak yang masih menganut ikatan kasih sayang itu ya jadian
(pacaran), beberapa menganut ikatan kasih sayang itu ya langsung
temui orang tuanya, ikatan kasih sayang itu ya taaruf, komitmen, ataupun
segala bentuk penyebutan lain yang inti dasarnya adalah sama, mencoba
mengikat. Mungkin bagi newbie seperti saya yang masih
suangaaattt jarang mencoba menginterpretasikan sebuah firman, hal seperti ini
jelas masih begitu asing. Tetapi lagi-lagi, pelarian yang terbaik dalam
hidup adalah berlari mendekati Tuhan, membaca dan menuliskan, eeaaa... Okey
kembali pada fokus awal.
Lalu apa yang ingin saya tuliskan?
Baiklah saya mulai dari pandangan saya, tulisan ini merupakan upaya saya mengubah
mindset saya. Saya bukan perempuan yang menantang keras bahkan habis konsep
pacaran (definisi kembali pada yang menjalani), saya juga bukan
penantang keras konsep-konsep taaruf yang kemudian bertransformasi
menjadi (hanya istilah, tindakan sama saja), dan saya bukan pendukung
berat konsep-konsep ikatan lain atas nama apapun. Saya selalu meyakini,
hakikatnya setiap manusia berhak memilih jalannya sendiri secara bebas
dan terlindung, saya hanya berkewajiban untuk mendoakan kebaikan bagi
teman saya, membagi pundak jika mereka datang karena tersakiti, dan menyediakan
waktu untuk sekadar mereka bercerita, walaupun sesungguhnya saya belum
menjadi perempuan yang selalu bisa menyelesaikan perihal hati saya
sendiri.
Karena hidup itu untuk berbagi, dan saya
sedang mencoba menjalaninya. Saya memiliki teman-teman yang sesungguhnya saya
sayangi, yang sejujurnya sering saya rindukan jika libur panjang berdatangan. Bohong
jika TIDAK nangis berkepanjangan, nafsu makan berkurang, tugas-tugas kuliah
cukup kurang fokus, bahkan lebih sering ingin diam ketimbang harus
berkomunikasi dengan banyak orang, yaaa...mungkin itulah gambaran mengenai
fenomena setelah satu dari dua insan memilih untuk tidak bersama atau lebih
elegannya mencoba menjalani kehidupan masing-masing. Saya ambil ‘akibat’
tersebut dari rangkuman-rangkuman kisah dan ekspresi perempuan. Untuk yang kuat
ya syukurlah, bagi yang ndak kuat maka mungkin tulisan saya ini sedikit
memberi makna. Saya tidak memberikan opsi untuk mencari lagi (pasangan),
karena itu kehendak, bukan pesan. Tarik nafas...senyum...dan bacalah ayat
dalam Al-quran Adz-Dzaariyaat: 49, janji Allah (saya sebut demikian).
Saya tidak tahu dari mana inspirasi saya
menulis ini. Kajian saya buanyaakkk yang bolong, mengaji saya masih banyak yang
belum satu juz per hari, tetapi saya meyakini, tulisan ini karena masih ada
iman di hati. Allah menuntun saya, Ia tidak pernah ingin hambaNya tersesat.
Jawaban kegundahan, kepastian akan ketakutan, dan Ia mengajak saya untuk
mendekat agar dipeluk, Ad-Dzaariyaat: 49 menjadi jawaban kuncinya. Hakikatnya
tidak perlu ada yang ditakuti jika ada yang pergi, hakikatnya menangislah
hingga beranak sungai sekalipun jika itu
mampu melegakan hati, mencoba menenangkan diri dengan memutus segala komunikasi
(bedakan dengan silaturahim yakkk) dan cukup mengingat bahwa kita tidak
diciptakan untuk hidup sendiri. Allah sediakan pasangan tanpa harus kita
ragukan, Allah sediakan pasangan tanpa harus kita bertelenovela gantung diri
pasca ditinggal orang yang kita cintai, penganut model ikatan seperti
apapun kamu, tengoklah ke dasar hatimu, Tuhan tidak pernah membohongimu. Setidaknya
saya selalu meyakini konsep ini, dengan terus memperbaiki diri (mengupayakan
selalu).
Jangan
biarkan hatimu menyalahkan sikap orang lain yang menyakitimu, pelan-pelan kamu
harus menerima, bahwa tidak semua orang berhak bersikap baik untuk
mendidikmu. Entah
dari mana saya bisa berpikir seperti ini, karena hakikatnya jika kita masih
memiliki mimpi, kita akan selalu yakin bahwa bumi tidak akan berhenti
berotasi saat pasangan kita dalam model dimensi apapun pergi. Yakinlah,
bahwa kadang meyakinkan diri kita terlebih dahulu ini penting. Konsep tulus,
konsep memberi, dan semuanya bermuara pada ikhlas. Aissss...ya mungkin ini
merupakan kilasan instropeksi pasca secara beruntun fenomena-fenomena yang
selalu menguras air mata itu datang. Cukup yakini, Tuhan lebih dekat dari pada
ulu hati kita sekalipun. Semangat menguatkan diri kita, semangat melanjutkan
hidup yang diyakini tidak akan sia-sia. Menyimak persepsi orang lain itu
perlu, tetapi meyakini kata hatimu dan
firmanNya itu lebih diperlukan. So...keep fight! Selamat menikmati
segelas es cincau hitam dengan santan kental dan es batu serut, pasti hatimu
lebih tenang.
- Terima
kasih untuk kabar terbaik dari Semarang dan telepon singkat dari ibuk di akhir
bulan (Semakin sayang pada ibuk dan bapak, terima kasih telah mengajari saya
berjilbab sejak TK, semoga pasca tertera dewasa saya pun dituntun untuk
menjilbabi hati saya) -
Selasa, 22 April 2014
SENYUM :)
Mulai datang batu - batu, mulai datang halangan - halangan, mulai datang hal - hal yang kurang disukai. Untuk alasan apapun itu SENYUM sembari SEMANGAT :)
Selasa, 25 Maret 2014
Catatan 26
Perpisahan itu bukan berujar tentang ditinggalkan dan meninggalkan, ia mungkin sedang ingin menepi dan TIDAK SEDANG MENUNGGU NAHKODA lain.
Kotaku mendung di awal pekan ini. Mengandung banyak uap air yang belum termuntahkan. Jalanan di sekitar gang kontrakanku lenggang, tak banyak kendaraan yang lalu lalang, hanya sesekali nenek tua penjaja gorengan dan nasi bungkus dengan pekik suara kencangnya meramaikan pagi, di susul penjaja kue basah dari wanita bertubuh kekar yang ‘sudah naik haji’ katanya, entah dari mana datangnya nyatanya setiap hari mereka lalu lalang, mereka tidak pernah pergi.
Aku menjelma menjadi pagi, dan kamu selalu berwujud kabut. Iya, kamu kabut. Seakan mengiringi kemunculanku, lalu tiba-tiba menghilang pukul enam pagi. Tanpa pernah merasa bersalah kamu selalu seperti itu beribu-ribu kali, kamu seakan ada, nyata-nyata kamu pergi. Aku tidak sedang menunggu, sekali lagi tidak sedang menunggu, kamu teramat hebat untuk membuatku mendoa bahwa selepas senja kamu akan datang lagi, mengajakku bermain bukan main-main.
Hidup sebatas pengharapan, sepuluh tahun berlalu dan aku masih tetap wanita bernama sama, namaku Rahmi dan kasihku pada pemilik kebun bunga Matahari itu tiada putus. Berjangka panjang mengingat janji, berjangka pendek mengingat kesalahanmu, kemutlakan. Entah mungkin sudah tercipta seperti ini. Aku tidak pernah menyesalinya, menyesali semua mimpi-mimpi yang pernah kita rajut bersama dan kamu hempaskan sendiri pagi itu. Iya pagi selepas aku bangun tidur, pagi selepas pak pos mendatangiku dan mengantar risalahmu. Angin menyuruhku tidak percaya, tapi kamu membuatku semakin percaya, bukan, aku tidak sedang berbicara akhir. Kita teramat sering berbicara pengakhiran komitmen kita.
Pelan-pelan mendung bergeser menjadi cerah siang, seperti biasa kuhabiskan siang ini dengan lembaran-lembaran kertas pekerjaan yang selalu bertumpuk setiap hari. Aku menyukai perkerjaanku. Pasca skizofrenia itu menyerangmu, cukup biasa sepuluh tahun ini aku sering mengalihkan perhatianku pada pekerjaan. Dahulu aku selalu takut seiring datangnya skizofrenia itu, kamu akan memintaku pergi dan membuatku menangis di ujung pintu. Psikiater yang kujumpai sepuluh tahun yang lalu itu bilang ‘pengertianku akan keadaanmu yang membuatku menangis harus punya cara yang tepat untuk mengalihkan. Misalnya berkutat dengan pekerjaan agar tidak mudah ingin memperhatikanmu.’ Psikiater itu tidak pernah tahu bahwa diam-diam aku masih saja ingin memperhatikanmu, aku bilang pada psikiater itu kamu tidak sedang sakit. Mungkin aku yang selalu menuntut komunikasi, lagi-lagi aku mengalihkan semuanya pada kehadiranku saat itu.
Aku tahu rasanya dianggap memperburuk, ini masih bagian awal, kondisi bilang aku membuatmu menjadi buruk. Entah bagaimana anggapan bahwa saat itu aku mampu bertahan pada diam yang membuat kuantitas hubungan kita menjadi lama. Lebih dari tiga tahun dan melaju pada tahun ke enam hingga ke tujuh. Tidak ada yang bisa tersalahkan atas lamanya kebersamaan kita. Aku tahu kamu masih merasakannya, iya merasakan manisnya kehadiran ‘kita’ walaupun sesekali kamu sering dilanda cemas yang berkepanjangan, dilanda was-was akan masa depan, dan dilanda takut secara besar-besaran. Aku begitu hafal kamu kekasihku yang memiliki espektasi tinggi atas semua mimpi-mimpimu. Iya, aku begitu hafal. Sehafal menu makanan rutin pagimu, sarapan bubur di depan Hang Tuah.
Mereka bilang aku selalu diberi harapan olehmu, belum tentu aku dilabuhkan pada kepastian. Mereka teramat pandai menghakimi keadaan kita, mereka lupa Tuhan sudah siapkan jalannya masing-masing, mereka lupa konsep takdir. Aku masih mencoba menghabiskan kopi susu yang mulai aku sukai, buatan office boy baru asal Klaten yang katanya sedang mengumpulkan uang untuk istri melahirkan. Ah, untuk apa aku ceritakan keadaan office boy itu, bukankah itu tidak penting? ‘Mungkin iya’. Argumen yang datar. Tiba-tiba aku mengingat argumenmu selalu datar, dan pada tahun keempat argumen datar itu tidak pernah membuatku sakit hati. Aku tahu kamu tidak selalu ingin mendengarkan ocehan-ocehan cerewetku, aku mengerti dengan saksama bahwa kamu bukan tipikal laki-laki yang suka saat aku mengomel tentang atur makanmu, cek kesehatanmu, kamu selalu bilang dapat menjaganya sendiri. Dalam konsep ini aku tahu rasanya tidak sedang dibutuhkan, bukan tidak dibutuhkan.
Tujuh tahun bersamamu, aku tidak sedang merealisasikan fiksiku, aku tidak sedang merawat orang sakit, tujuh tahun itu aku belajar menyayangimu. Pernah suatu ketika saat kita menghabiskan sebuah es krim di sebuah taman kota, kamu selalu menggodaku untuk tertawa bersamamu, kamu bilang kita harus menghabiskan pagi di sini, aku tahu kamu menghiburku karena riset yang aku lakukan tidak lolos terpublikasi jurnal Internasional. Aku pun larut dalam dua es krim vanila yang kita sukai, lambat laun aku melunak, kamu paling mengerti bahwa aku wanita berobsesi tinggi, aku pun memberimu satu senyuman bahwa aku tetap bahagia. Kita pun saling tersenyum dan kita meniup lalu melayangkan balon-balon merah. Kamu mengerti cara membuatku bahagia, dan pada tahun kelima itu aku menjadi semakin cinta.
Kamu tidak sedang sakit, kamu bisa membahagiakanku setiap pagi. Kamu belum berwujud kabut dan kamu tidak pernah pergi. Tiga kali menemanimu pergi ke medical center untuk berkonsultasi nyatanya tidak pernah memunculkan prasangka bahwa kamu sedang mengidap suatu penyakit kronis. Aku pernah mencoba untuk satu bulan tidak menghubungimu, aku tahu skezofreniamu sedang kambuh. Kamu tidak sedang ingin bicara, kamu tidak sedang ingin berkomunikasi dengan siapa-siapa, termasuk aku. Saat itu aku tidak pernah ingin muncul di hadapanmu lagi, tetapi tiba-tiba nyatanya malah kamu mendatangi kotaku dan memintaku untuk tidak meninggalkanmu. Kamu yakinkan bahwa pemicu keadaan ini bukanlah aku, kamu mengusap air mataku dan kita menghabiskan sore dengan bersepeda. Semuanya mengalir cepat, semuanya baik-baik saja. Celetuk sahabat mengatakan ‘labil’, mereka tidak mengerti kondisi kita, mereka tidak tahu usahaku mempertahankan kestabilan emosimu sayang.
Kamu tahu makna ‘melepas’ sayang? Ia tidak pernah nyata meninggalkan tanpa tanggung jawab. Aku bukan wanita yang tidak bertanggungjawab atas semua perasaan-perasaan terbaik yang pernah saling kita berikan. Aku masih menyimpan dengan baik semua kisah yang sudah kita goreskan, layaknya aku menyimpan semua bando-bando pemberianmu. Iya, kamu begitu suka memberiku bando-bando polos setiap mengunjungiku. Kamu tidak pernah menyakitiku, kita sakit atas kegagalan hati kita masing-masing. Kita sudah tidak saling bermanja untuk menyembuhkan. Tidak ada bando merah untuk nuansa hati gembira, bando putih untuk nuansa hati lara yang ingin kita kembalikan menjadi ceria, bando hijau untuk pencapaian terbaik dalam satu bulan, bahkan bando biru jika kita sedang saling bosan. Semuanya seperti terkalender dengan baik, dalam ingatanku. Kamu laki-laki yang baik, itu mengapa kita saling dipertemukan.
Tidak terasa malam beranjak dengan cepat, aku belum lekas pulang kantor. Gerimis masih menemaniku menghabiskan tumpukan portofolio yang harus segera diselesaikan. Tidak terasa mengenangmu melalui tulisan ingin rasanya kuhabiskan sepuluh tahun lagi untuk tega mencerca keadaan kita. Untuk menghardik diriku sendiri yang tidak pernah bisa mengatakan mengapa kita tidak lagi bersama? Sepuluh tahun bersamamu menghabiskan kopi di malam hari, menyeduh teh di sore hari, meneguk es cendol di siang hari, membuatkanmu sajian sarapan sebelum pagi, dan aku melakukannya semua hanya denganmu. Mereka mengataiku ‘bodoh’ dan ‘tidak realistis’, mereka seakan menimangku dengan belas kasihan berbulan-bulan, mereka memberiku beberapa patah wejangan, tapi kamu tahu, semua itu berlalu lalang hanya mengitariku telingaku, mereka tidak pernah menjalani sepuluh tahun berkutat dengan orang yang sama. Mereka tidak pernah merasakan harus diruwat berkali-kali agar adat dapat membawa nasib baik, menjauhi pantangan-pantangan agar kita bahagia ‘katanya’, dan kita menjalaninya dengan pengharapan. –BERSAMBUNG-
Catatan Dua Puluh Enam untuk semua pengharapan terbaik, semoga kamu lekas sembuh dan dipertemukan dengan HIJAU. Jangan lagi pernah saling menanyakan mengapa kita akhirnya harus tidak saling bersama? Kamu percaya konsep jodoh sayang? Hakikatnya kita tidak pernah saling memiliki, kita hanya saling dipertemukan olehNya, dan kapan saja Dia memiliki kuasa penuh atas muara yang Ia anggap TERBAIK.
Senin, 17 Februari 2014
Hari Pertama Mahasiswa Semester Akhir (Baca: ENAM)
Lalu saya pun menciptakan TOKOH IMPIAN fiktif itu kembali, mimpi-mimpi saya banyak yang berubah, dan saya belajar untuk semakin berhati-hati, jangan-jangan 'keraguan' itu jawaban atas ketidakbenaran 'perilaku kasih sayang'. Entah atas nama apapun, sungguh rasanya Niat dan Cara hidup ini ingin berubah, lagi-lagi, puncak tertinggi sebuah harapan adalah MenujuMu Rabbku, Maha Penentu Takdirku, Maha Kuasa atas hidupku, matiku, bahkan segala rutinitas hidupku. Di depanMu tak akan kusebut 'saya', karena masihlah rendah, masihlah jauh, KUBERI NAMAKU "HAMBA". -Kubilang ini Episode Baru (Gelas Kosong) - I believe, my dream will come true, today!!!
Senin, 27 Januari 2014
Selepas Percakapan Sore Ini...
Layang - Layang
Sayang, kamu
tahu lima tahun yang kita sepakati bersama untuk saling kembali, nyatanya
dengan lebih sadar mengembalikan akal sehat ini bahwa lima tahun aku mencintai
harapan. Iya sayang, aku mencintai harapan-harapan kamu, aku mencintai
harapan-harapan yang kita sepakati sendiri.
Sudah lima hari hujan tidak juga mereda sepanjang sore. Ia
mengalir, ia menciptakan cerita. Iya, cerita-cerita lima tahun yang lalu, yang
setiap sore membekas, setiap sore menguak ingin bersentuhan. Persentuhan hati
itu melekat, menyatu dengan hujan dan kebun bunga Matahari belakang rumah.
Bukan rumah kita.
Sore ini tepat lima tahun kesepakatan kita untuk saling melepas
dan mengejar mimpi-mimpi, yang katamu mimpi-mimpi kita. Iya, katamu bukan
kataku. Mimpi-mimpi yang bisa kita satukan saat pertemuan yang dinanti tiba,
iya, dinanti, entah dinanti siapa dan atas kesepakatan siapa. Sore ini nyatanya
aku masih di sini dan belum dijemput siapa-siapa. Aku tidak ingin pulang.
Aku masih menyeduh energen vanila hangat dengan kombinasi
air panas dan air dingin dalam gelas yang sama, iya gelas yang sama dengan
gelas yang biasa kita pakai lima tahun yang lalu, aku masih ingat kita
membelinya di salah satu toko perabotan dapur di ujung pasar itu. Kamu begitu
lucu, kamu bilang gelas sama dengan cangkir, tapi beda dengan mangkok cina,
kita saling tersenyum dan pemilik toko itupun mengirim simpul lugu untuk
senyum-senyum kita. Aku bilang senyum itu menular, kamu mengangguk kita
bertatap.
Aku menyeduhnya dengan pelan, aku tahu pekerjaan sebanyak ini
tidak akan bisa aku selesaikan hingga pukul lima tanpa teman. Iya, tanpa teman.
Tapi kisah kita setiap sore menjadi teman, iya temanku adalah kenangan lima
tahun yang lalu bersama kamu. Kamu dan aku menjelma menjadi kita dan
akhirnya membuat cerita, cerita yang menghempas seluruh mimpi-mimpiku, merombak
total resolusi-resolusiku setiap tahun. Aku sadar melakukannya dan aku melawan
tangis-tangis kenangan.
Iya sayang, tangis-tangis kenangan yang mengharukan. Lima tahun
bersama kamu dan aku menjadi wanita paling beruntung dalam setiap cerita-cerita
yang kita ciptakan. Kamu begitu sempurna menemaniku bermain sepeda setiap sabtu
dan minggu, kamu begitu sempurna menemaniku bercocok kebun, kamu begitu bisa
diandalkan untuk diajak berdiskusi dan kamu begitu bisa mengambil hatiku yang
akhirnya kamu bawa lari, hingga akhirnya separuh hati tak tersisa ini sakit.
Iya radang, memanas, melepuh dan akhirnya ia mati rasa. Bahkan hingga lima
tahun perpisahan kita, aku masih berharap akan ada lima tahun lagi waktu yang
lebih panjang untuk mengenang kita.
Mencintaimu tanpa muara. Aku menjalani hidupku dengan tidak
sia-sia. Setiap harinya memuat engkau dalam setiap rubrik koran yang aku baca.
Iya, memuat kamu dengan semua kesepakatan-kesepakatan kita yang kamu sebut komitmen.
Selepas tangis sore itu, semuanya membuat mata terbuka. Aku mulai dengan
pengerjaan tugas-tugas akhir dengan sungguh-sungguh, kamu bilang aku harus
sungguh-sungguh, dan hasilnya aku berhasil menyelesaikan tugas akhirku dengan
usaha terbaik dan hasil terbaik. Tapi di malam perayaan selesainya tugas
akhirku aku pikir kamu akan datang, setidaknya menolerir sikap dan batas
bahwa pertemuan kita cukup penting. Kamu tidak datang dan aku memaafkan
bahwa kamu pria yang memegang teguh suatu ucapan, batinku saat itu.
Tuhan menyayangiku tanpa batas, dan cintaku padamu masih tanpa
muara, ia tidak mengalir, aku yang mengemudikannya hingga ia tumbuh menyatu
denganku dan dengan mimpi-mimpiku. Aku mulai bekerja di salah satu institusi
pemerintahan, aku menjalani hariku dengan koreksi-koreksi data, aku menjalani
pekerjaanku dengan bahagia. Hingga akhirnya aku bekerja di salah satu institusi
pendidikan dan mimpiku sebagai pendidik akhirnya terealisasi, Tuhan Maha
Sempurna dengan melengkapkan pekerjaanku sebagai salah satu peneliti di
suatu lembaga. Aku ingin menceritakan itu semua padamu, tapi aku tahu
kamu tidak memerlukan itu, kamu terlalu percaya diri untuk menjalani apa yang
katamu baik. Semuanya berjalan, mimpi-mimpiku tidak jalan di tempat, tetapi
kamu begitu pandai untuk menahan hatiku jalan di tempat. Ia tidak ingin
berpaling hingga lima tahun kemudian datang dengan sendirinya.
Kamu masih ingat bukan ketika malam itu aku bernyanyi lagu Andaikan
Kau Datang – Ruth Sahanaya? Kamu menyimakku dengan begitu
bahagianya, kamu memujiku tanpa hentinya, kamu membuat semuanya sempurna. Iya
sempurna, adanya kamu di sampingku setiap waktu bukan setiap aku butuh adalah
sempurna. Hidupku ramai, hidupku pelangi, dan kita selalu dapat tersenyum dalam
waktu yang sama. Aku hanya berkamuflase, aku hanya mengingat, mengenang bukan
mengharap kamu datang. (bersambung)
Saya
tulis untuk salah dua pembaca setia blog afifahrinjani.blogspot.com.
Semoga
mampu mengobati keinginanmu membaca tulisan saya.
Terima
kasih atas doanya, semoga fiksi yang
diharapkan dapat segera terealisasi.
Langganan:
Postingan (Atom)