Aku hidup bersama mimpi-mimpiku. Satu
kalimat yang mendeklamasikan bagaimana fase hidupku selama empat ratus empat
belas hari, pasca aku menjadi mahasiswa Universitas Brawijaya. Aku merasa ini
merupakan fase terbaik dan terhebat dalam sembilan belas tahun usiaku. Bagaimana
tidak? Dalam usia sembilan tahun ini aku merasa banyak perbaikan yang aku
lakukan. Perbaikan itu kompleks, meliputi hal yang berkaitan dengan akademik,
organisasi, keseharian, bahkan menyentuh hal paling sensitif yakni ‘asmara’,
dan semua itu merupakan jembatan untuk meraih semua mimpi-mimpi yang aku tulis.
Dalam hal akademik aku merasa lebih mandiri dalam belajar. Aku semakin menganggap benar persepsiku selama SMA bahwa belajar tidak hanya mengenai matapelajaran atau saat ini aku menyebutnya matakuliah, lebih dari itu, belajar merupakan suatu hal yang komplek. Belajar meliputi belajar membuka wawasan, menerima perubahan, bahkan belajar memahami karakter seseorang. Aku merasa mulai mencari dan melakukan itu semua. Evaluasi dan pematangan diri sering aku lakukan. Aku semakin sadar bahwa belajar merupakan suatu kerja keras. Dengan kerja keras itulah aku percaya kesuksesan akan menghampiri.
Dalam hal akademik aku merasa lebih mandiri dalam belajar. Aku semakin menganggap benar persepsiku selama SMA bahwa belajar tidak hanya mengenai matapelajaran atau saat ini aku menyebutnya matakuliah, lebih dari itu, belajar merupakan suatu hal yang komplek. Belajar meliputi belajar membuka wawasan, menerima perubahan, bahkan belajar memahami karakter seseorang. Aku merasa mulai mencari dan melakukan itu semua. Evaluasi dan pematangan diri sering aku lakukan. Aku semakin sadar bahwa belajar merupakan suatu kerja keras. Dengan kerja keras itulah aku percaya kesuksesan akan menghampiri.
Dalam hal organisasi aku merasa lebih
bertanggung jawab dan fokus. Dulu saat SMA aku hampir mengikuti seluruh
Ekstrakurikuler, mulai jadi punggawa Inti Osis, KIR, Pramuka, Jurnalis, dan
abal-abal mengikuti Rohis. Kurang optimal dalam bekerja sempat menjadi suatu
kendala untuk melangakh dari satu hal ke hal lainnya. Namun saat kuliah aku
mulai menyisihkan manakah yang merupakan kebutuhan, dan manakah yang merupakan
keinginan. Kefokusan mulai aku lakukan, dari sekian puluh UKM dan komunitas
akhirnya aku memutuskan bergabung bersama BEM FIB Bersatu, Himpunan Mahasiswa
Jurusan, Riset dan Karya Ilmiah Mahasiswa, Mata Pena FIB, Unitas Riset dan
Kepenulisan Dunia Ilmiah Fakultas dan Brawijaya Mengajar. Mungkin saat ini
memang aku merasa segala hal yang berbau kepenulisan dan pendidikan merupakan
passion yang baru saja aku temukan.
Kadang orang berpikir ikut organisasi
itu agar kita bisa ngeksis, tapi
bagiku lebih dari itu. Mengikuti organisasi merupakan suatu kebutuhan, karena
hal yang kita dapatkan di organisasi belum tentu kita dapatkan di bangku dalam
kelas. Seringkali melalui organisasi aku banyak belajar cara membahagiakan
seseorang, melalui berbagi dan memberi manfaat. Dari organisasi pula aku
mendapatkan satu persatu keluarga yang saling mengisi cerita kehidupan.
Dalam keseharian pun aku merasa
demikian. Terdapat cukup banyak perbedaan. Aku mulai sering berpikir jangka
panjang (untuk beberapa hal) dan menggunakan hati dalam menyikapi segala hal
yang terjadi dalam hidupku. Aku mulai memikirkan seorang perempuan itu haruslah
yang bisa masak, yang bisa menjahit, rapi, menerima dalam beberapa konteks, dan
kuat serta sabar dalam menjalani hidup. Seorang perempuan juga haruslah menjadi
sosok yang cerdas, karena nantinya kecerdasan itu dibutuhkan dalam hidup, pra
menikah hingga pasca menikah. Kecerdasan itu nantinya yang akan menurun kepada
gen anak-anaknya. Membahagiakan bukan?
Berbicara tentang keseharian tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan kita bersama Tuhan. Dalam keyakinanku aku
menyebutnya Allah SWT. Aku semakin merasa Allah memiliki andil yang luar biasa
dalam hidupku. Allah menjadi tempat kembali dalam segala nuansa, begitu hebat,
begitu setia, dan maha dahsyat. Ia selalu menguatkan dan memberi
rencana-rencana yang begitu sulit untuk dinalar namun membahagiakan jika di
rasakan. Matiku saja untukMu apalagi hidupku, satu rangkaian kata ini kiranya
tepat membahasakan apa yang kurasakan saat ini.
Penggambaran terakhir tentunya
mengenai asmara (kisah kecondonganku terhadap lawan jenis). Ini merupakan ranah
yang cukup sensitif dalam kehidupanku. Ranah ini yang saat ini begitu hati-hati
dalam kusentuh, ranah yang teramat abstrak untuk digambarkan. Dalam ranah ini
seringkali aku hanya mampu merasakan tanpa bisa mendeskripsikannya melalui
alasan, iya, alasan yang kompleks. Alasan mengapa aku juga menyukainya bahkan
menyayanginya, mengapa aku tiba-tiba sering menangis karena rasa yang kurang
begitu aku sukai (hal-hal yang terkadang membuat aku cemburu, bahkan sakit),
dan ini lebih konyolnya ketika aku teramat mudah memaafkan dan mengabaikan
perasaanku sendiri. Ranah ini memang tidak berdampak banyak dalam kehidupanku,
karena memang aku tidak begitu memprioritaskannya.
Untuk kisah yang sedang ingin kuretas dalam jagaku, aku ingin mengatakan. “Tuhanlah yang mempertemukan kita, lalu tiba-tiba membuat hati kita condong, Tuhan membalik rasa yang kita miliki, dari rasa biasa menjadi tidak biasa, lalu Dia juga dengan mudah membolak-balik segala rasa yang kita miliki. Ketika aku atau kamu ingin berhenti bahkan pergi saat ini, mungkin kita sama-sama tidak akan saling merengek untuk saling menahan, walau aku, kamu atau kita sebenarnya tidak ingin bertambah sedih dan sakit, tetapi menanamkan kepercayaan bahwa kebersamaan kekal adalah perjodohan dari Tuhan harus adanya. Lalu apakah kita berjodoh? Entahlah, itu bukan urusan kita. Kita hanya membutuhkan kesiapan untuk menerima segala kepastian. Kita hanya membutuhkan perjuangan terbaik untuk mendapatkan masa depan terbaik.”
Untuk kisah yang sedang ingin kuretas dalam jagaku, aku ingin mengatakan. “Tuhanlah yang mempertemukan kita, lalu tiba-tiba membuat hati kita condong, Tuhan membalik rasa yang kita miliki, dari rasa biasa menjadi tidak biasa, lalu Dia juga dengan mudah membolak-balik segala rasa yang kita miliki. Ketika aku atau kamu ingin berhenti bahkan pergi saat ini, mungkin kita sama-sama tidak akan saling merengek untuk saling menahan, walau aku, kamu atau kita sebenarnya tidak ingin bertambah sedih dan sakit, tetapi menanamkan kepercayaan bahwa kebersamaan kekal adalah perjodohan dari Tuhan harus adanya. Lalu apakah kita berjodoh? Entahlah, itu bukan urusan kita. Kita hanya membutuhkan kesiapan untuk menerima segala kepastian. Kita hanya membutuhkan perjuangan terbaik untuk mendapatkan masa depan terbaik.”
Inilah seklumit tulisan hasil
refleksi kehidupanku. Aku tulis di saat-saat senggang menghadapi UTS,
mempersiapkan diri untuk program pengabdian masyarakat, memikirkan konsep FIB
Award, menjadi panitia pekan sastra islami dan menyukseskan regenerasi himpunan
mahasiswa jurusan. Hidup adalah antara kerja keras dan menikmatinya. Bukan
sekadar kita berjuang tanpa ingin menikmati hasilnya.
Malang, dua puluh sembilan oktober
dua ribu dua belas.