Rabu, 23 Mei 2012

Bukan Sebongkah Lagi (Hope 3)


Aku selesai membaca semua catatan-catatanmu di salah akun jejaring sosialmu. Aku membacanya dengan teramat runtut. Aku tertarik dengan pola penceritaanmu yang terkesan frontal, namun ada beberapa catatanmu yang kurang bisa ku terima karena aku tahu itu bukan catatan orisinal yang kamu buat, benar saja, aku pernah membaca tentang itu di salah satu akun jejaring sosial orang lain. Entah, siapa yang mencopy dan mempaste, bagiku sekarang adalah saatnya memberikan tanggapanku untuk kamu di masa bahula dan di masa sekarang. Cukup kamu baca masa pra aku mengenalmu dan masa pasca aku mengenalmu di gedung itu.

Aku awali dengan sebuah kata maaf, maaf karena aku tak lebih dahulu izin saat membaca catatan-catatan kamu. Maaf saat aku terlalu dalam mengorek-ngorek identitasmu melebihi petugas pembuat KTP menanyaimu sebelum kamu membuat KTP beberapa tahun yang lalu. Maafkan aku, aku hanya ingin lebih mengenalmu dengan cara melalui segala usahaku sendiri. Semoga kamu bisa menerima segala alasan yang aku kemukakan, aku tak memiliki niat sedikitpun untuk sekadar mengusik sela-sela titik nafasmu.

Aku suka dengan caramu yang tergolong arogan dalam mengemukakan alasan, gayamu yang sedikit slengekan namun tetap bisa dipertanggungjawabkan, hingga aku tercengang ternyata kamu bukan salah satu dari manusia sekuat supermen yang pernah kamu katakan. Kamu pernah merasakan rasa sakit yang sama seperti makhluk Tuhan lainnya. Benar, rasa suka, rasa kagum, rasa duka, rasa kecewa, dan ini yang agak membuatku riskan, iya benar rasa cinta. Aku mulai merasa sedikit ingin segera menyelesaikan membaca tulisanmu saat kamu mengatakan pernah memiliki perasaan itu kepada sosok lain, penggambaran tepatnya aku tidak begitu tahu. Aku hanya sedikit mengulangi pada bagian itu dan membaca beberapa komentar temanmu.

Sedikit mulai meninggalkan bagian tentang itu. Aku melangkahkan dan menggerakkan mataku pada bagian dan babak baru dalam kehidupanmu. Tepatnya pasca apa cukup aku yang tahu. Aku merasakan ada yang berbeda pada tulisanmu, pada status-status yang kamu buat, dan pada tindakan kamu saat ini. Kali ini aku sedikit mengagumi dan mencoba menyenangkan hati bahwa kamu bukan yang dulu lagi. Aku mengenalmu saat kamu lebih baik dari waktu-waktu yang pernah kamu lalui, dan aku beruntung. Terima kasih Tuhan.

Setetes embun memberikan banyak cerah nan indah pada pagi. Seperti percakapan kita pada waktu itu. Waktu di mana aku menjadi sayu karena aku terharu. Terharu saat membaca salah satu tulisanmu, benar tulisan yang kamu buat beberapa hari yang lalu. Aku jadikan itu penawar bagi segala rasa yang tak menyenangkan. Lagi-lagi berputar, aku hanya bisa menjadikan segala pengakuanmu, satu tulisanmu, dan beberapa pesan singkatmu di inboxku sebagai penetral bisa segala ceritamu yang dulu. Aku sedang bersama kamu yang baru, bukan masa lalumu walaupun tetap kuhargai segala proses kehidupanmu.

Aku akhiri dengan sepasang ikatan tanganku yang menengadah memohon pada Tuhan agar segala sikapku ini tidaklah salah. Aku selalu berharap Tuhan akan memberikan segala hal terindah bagi yang kita lalui dalam babak baru kisah-kisah. Aku tak ingin ada yang berubah, aku ingin kamu seperti ini, aku menerima kamu dengan segala kisah-kisah yang mungkin masih begitu asing di telingaku. Tentangmu yang terkadang berdebat soal politik, soal pemerintahan, soal doktrin, soal pendidikan, dan yang teramat sensitif soal kepercayaan. Sudahlah, aku menjadikan semua perbedaan ini sebagai warna. Warna yang akan menghiasi cerita kita di hari-hari indah selanjutnya, yang akan menjadi anugerah bagi kita yang menjalaninya, bersama bunga-bunga yang aku siram setiap pagi dan sore di taman dekat kolam. Aku tak ingin melewatkan sedikit pun hari tanpa menceritakan dan berbagi cerita denganmu.

Sekian banyak alasan mencoba menjatuhkanku pada fase minim kepercayaan padamu, namun kehadiranmu dengan sosok hari ini memberikanku lebih banyak alasan untuk mempertahankan perasaan ini. Hingga pada takdir Tuhan nanti akan berkata apa, yang aku tahu hanyalah aku berusaha yang terbaik dalam hidupku walaupun belum mampu mengatakan “hidup kita”. Semoga aku selalu percaya dan mengerti Tuhan tak pernah memberikanku proses kehidupan yang sia-sia. Termasuk sia-sia saat aku mengenalmu di siang itu dengan posisi duduk yang sejajar dan sama.

Satu lebih empat puluh dua menit dini hari
Dua puluh tiga mei dua ribu dua belas


Dengan Kasih...
Embun Jingga

Senin, 21 Mei 2012

Menanti Salju di Puncak Jayawijaya

Ketika perbedaan menjadi batas antara rasa itu untuk terungkapkan. Tuhan Selamat Malam!!! Aku mengucapkan kalimat itu hanya untukMu malam ini, entahlah bagaimana surga detik ini, malamkah, atau mungkin pagi. Tuhan masih tentang dia kali ini, iya dia, siapa lagi Tuhan. Dia yang akhir-akhir ini menjadi penabur yang menabur rasa senyumku, rasa sakitku, rasa kecewaku, bahkan rasa yang tak dapat kudefinisikan.

Ketika ada yang mengatakan setiap perasaan selalu datang dariMu mungkin kini aku harus percayakan padaMu Tuhan. Sesungguhnya Engkaulah maha membolak-baikkan hati ini. Hati yang saat ini entah ingin apa. Entah ingin berbuat bagaimana, yang hanya mampu menuliskan segala rasanya lewat risalah malam yang kutitipkan pada angin agar tersampaikan padanya. Iya, pada dia, dia yang baru kutemukan belum lebih tiga ratus lima puluh enam hari.

Aku diam memperhatikan segala tingkahnya yang tak jarang sebenarnya ingin kuikuti. Mengikuti bagaimana dia hari ini, mengikuti ke mana saja dia pergi, bukan lagi di belakangnya, bukan pula dari kejauhan, namun di sampingnya. Di sampingnya walau hanya dalam khayal munajatku. Sesekali ingin menyapanya dengan senyum layu, tanpa dia membalas itu sudah cukup. Merasakan kehadirannya lewat angin saja sudah membuatku lega karena dia masih sama-sama menjadi makhlukMu di gemah rimpah loh jinawi ini.

Tak bisa kutolak terkadang hari-hari yang masih sempat kujalani ini semakin membuatku tak bisa lepas dari bayangannya. Saat aku presentasi dalam matakuliah tersulit pun, ingatan tentang pertemuanku dengannya selalu menjadi penutup presentasi yang menyenangkan, iya demikian. Mengapa? Karena dengan mengingat itu aku merasa menjadi seorang paling beruntung karena memiliki banyak mimpi. Iya mimpi, mimpi menjadi seseorang yang sehebat dia.

Aku tak ingin salah menafsirkan takdir Tuhan ini. Aku tak ingin salah lagi dalam menempatkannya di kehidupanku yang tak sebentar lagi. Mengurai mimpi-mimpi setinggi-tingginya akan kulakukan agar semangat darinya tak terbuang percuma dan tak berguna. Aku ingin dia masih seperti ini sampai musim ini berganti dengan musim yang lain, bahkan merasakan musim yang belum pernah kurasakan ingin kurasakan bersamanya. Iya, musim ini, mungkin di sini tak ada, mungkin aku dan dia harus melangkahkan kaki bersama  ke puncak jayawijaya untuk dapat sedikit merasakan tetesan salju perlahan dengan keadaan sama. Sama-sama asing, sama-sama masih malu, dan sama-sama tak akan menodai pertemuan dari Tuhan untuk kita siang itu. 


Dengan Kasih...
Embun Jingga

Khoub Khun Kroub VS Xiexie




Ni Hao Gege!!!

Selamat malam untukmu yang nan jauh di sana. Jauh dari pelupuk mataku, tetapi mungkin terasa dekat di salah satu organ perasaku. Bagaimana kabarmu? Masih lelahkah? Atau semakin menyenangkankah?Kalimat pertama yang ingin ku tanyakan padamu. Sedari pagi ingin ku tanyakan, namun lagi-lagi malu membuatku merasa harus mengurungkannya.

Aku beranjak meninggalkan segala kepenatanku. Ku temukan sesuatu di inbox message handphone.ku. Ternyata satu message darimu masih ku simpan dengan apik di jejeran pesan-pesanmu yang lain. Iya itu dari kamu, berbunyi apa tepatnya janganlah itu cukup rahasiaku saja.

Mengingatmu adalah salah satu semangat yang tak bisa ku pungkiri akhir-akhir ini. Seperti malam ini semangatku untuk mencoba menghafalkan lagu indonesia versi mandarin yang menjadi tugas akhir salah satu matakuliahku. Tepat dan pas, itulah saat ingatanku tentangmu ku gunakan untuk menghafalkan lirik di bawah ini.

Xuexi Hanyu MandarinJ

Lirik Sempurna Versi Mandarin.

Wei xiao wen guo ni de lian
Xuan lan xing guang
Wei rao zhe quan shi jie
Wo fa xian ni wei xiao de yan
Hao chun zhen de hua mian

Qing qing de heng zhe yin yue
Kuai le dai ti wo
Pei zhe ni dao yong yuan
Peng zai shou xin de wen nuan
Yao wan zheng de dai zai shen bian

Wo zhi xiang ba
Ni hao hao kan qing chu
Chen mo bu zai yi han
Kan ke mo le tu
Ru guo ni zai zuo you
Xing fu dui le lu

Wei yi de ni shi quan bu
Shang guo de tong yi mo hu
Rang wei lai de di tu wan
Cheng wo men de xing fu
Ai jiu shi wan mei de li wu
Sempurna, Sempurna

Yong suo you ai qing zhu
Bu bian de shi ni
Zhi de wo wei ni ku
Yong gan de zhen xi hui ji nian
Xiang zui qian cheng de zui chu

Wo zhi xiang ba
Ni hao hao kan qing chu
Chen mo bu zai yi han
Kan ke mo le tu
Ru guo ni zai zuo you
Xing fu dui le lu

Wei yi de ni shi quan bu
Shang guo de tong yi mo hu
Rang wei lai de di tu wan
Cheng wo men de xing fu
Ai jiu shi wan mei de li wu
Sempurna, Sempurna

Wo zhi xiang ba
Ni hao hao kan qing chu
Chen mo bu zai yi han
Kan ke mo le tu
Ru guo ni zai zuo you
Xing fu dui le lu

Wei yi de ni shi quan bu
Shang guo de tong yi mo hu
Rang wei lai de di tu wan
Cheng wo men de xing fu
Ai jiu shi wan mei de li wu

Wei yi de ni shi quan bu
Shang guo de tong yi mo hu
Rang wei lai de di tu wan
Cheng wo men de xing fu
Ai jiu shi wan mei de li wu
Jiu shi wan mei de li wu
Sempurna, Sempurna (end)

Khoub Khun Kroub. Satu kalimat yang ingin ku bisikkan di telingamu malam ini.


Dengan Kasih...
Embun Jingga

Minggu, 20 Mei 2012

Bukan Magnet Melainkan Seperti Balqis Dengan Sulaiman

Selamat malam untukmu yang hari ini mungkin merasa lelah karena aktivitasmu yang begitu luar biasa. Menjaga semangat adalah satu dari sekian hal yang aku sukai dari sosokmu. Sosokmu yang akhir-akhir ini mampu menjadi sinar tersendiri saat aku mulai penat dengan segala hal yang bernama rutinitas. Entahlah, jika aku membaca status akun jejaring sosialmu yang cukup menyenangkan, aku seperti mendapat stimulus hormon yang luar biasa. Asupan yang biasanya hanya aku dapatkan dari sosok-sosok hebat di sekelilingku, misal kedua orang tuaku terkasih. Lagi-lagi terimkasih ya.

Tuhan, mayapada begitu lengkap dengannya. Bukan antara bulir-bulir yang saling bersipadu melainkan bulir-bulir yang saling melengkapi, dalam warnanya, dalam coraknya, dan dalam apa yang tak bisa diberikan oleh yang lain, seperti saat kamu bilang, “manusia sepertimu itu hanya menanti diluruskan tulang rusukmu yang bengkok”. Entahlah, semudah ini atau secepat inikah? Aku hanya tahu bahwa aku benar-benar seperti seseorang yang mencari atau menanti dalam keadaan absurd.

Lagi-lagi gunung yang terlihat dari jendela kamarku telah tertutup malam yang penuh gemintang. Gemintang yang mungkin hanya bisa dilihat oleh sosok-sosok sepertiku, sosok yang saat ini seperti memiliki pelita dalam imajinya, entah benar atau salah, malam yang gelap menjadi terang karena ada sebesit pikiranku tentangmu, ada sebesit cerita konyolku saat mengingat sosok keras sepertimu. Apa-apan ini Tuhan, hatiku mulai terkontaminasi!

Sepertinya malam ini memiliki tema yang sama. Masih saja tentang  “seperti mengagumimu” atau bahkan “seperti menyayangimu” atau malah “seperti mencintaimu”. Entahlah, semua itu tak mudah untuk disimpulkan. Takdir Tuhan serasa menahanku untuk tak berpikir demikian, menahanku untuk sedikit demi sedikit menetralisir rasa yang sudah terkontaminasi ini. Walaupun tak mudah, namun tak ada alasan sulit bagi sosok yang tak mudah menyerah sepertiku.

Hei kamu, sepertinya aku memang benar-benar ingin mendengar sapaanmu. Mendengar sapaan logatmu yang membuatku terasa sama, iya, sama-sama. Sama dan sama akhirnya sama, sama dikali sama hasilnya pun sama, kemudian menambahkan langkah sepersekian meter per detik maka kita akan dekat karena memiliki banyak kesamaan. Bukan seperti magnet melainkan seperti Balqis dengan Sulaiman. Hei iya, itu kamuJ

Dengan Kasih...
Embun Jingga

Hei, Itu Siapa?

Pagi ini penuh pesona. Pesona tentangmu yang sepertinya membicarakan tentang sosok lain melalui prosa liris yang sederhana. Terlebih dahulu aku ingin mengucapkan selamat pagi untukmu yang sementara kutinggalkan. Bukan kutinggalkan rasa dan jiwa melainkan hanya raga. Raga kita yang terpisah tidak dalam satu kota. Semoga kamu berkeadaan baik di sana.

Entah bagaimana perasaan ini mampu kugambarkan. Lebih tepatnya kuungkapkan. Benar-benar luar biasa. Antara terkaan dan anganmu yang mungkin tak sama denganku. Siapakah ia? Siapakah sosok yang kamu ceritakan itu? Menjadi terka terhebatku hari ini, mampu membuatku tiba-tiba tersenyum gede rasa  karena ku kira aku, tetapi juga mampu membuatku tiba-tiba merasa menjadi sosok tidak  beruntung karena belum mampu sedikit mengalihkan pandanganmu, mungkin saja itu sosok lain, inikah rasa cemburu?

Aku bercerita tentang reaksiku ketika kamu menulis itu. Cukup hanya satu kalimat tanya, ‘hei, itu siapa?’. Siapakah sosok yang kamu ceritakan itu, beruntung sekali ia. Beruntung karena mampu melampaui langkahku yang masih tertatih untuk mencoba mengenali dirimu, tertatih mencoba memperkenalkan diriku dengan apa adanya aku, tertatih hanya untuk membuatmu menyapaku. Ia benar-benar sosok paling beruntung saat ini, beruntung sangat.

Tuhan, aku cemburu sepertinya. Aku seperti cemburu saat sosok itu diceritakan dalam prosa lirisnya. Aku saja yang berusaha lebih lama untuk sedikit mengalihkan pandangannya belum pernah sekalipun dijadikan sosok seistimewa itu. Ingin rasanya aku meneteskan air dari mata sayuku. Ingin rasanya kamu tidak pernah melakukan itu, menceritakan sosok lain yang kuketahui. Hei apa-apaan ini. #Berperang dengan argumen.


Dengan Kasih...
Embun Jingga


Sabtu, 19 Mei 2012

Terimakasih Telah Menyapaku Terlebih Dahulu

Selamat Pagi Tuhan. Akhirnya prasangka ini menunjukkan kehebatannya. Semalam aku bermain dengan bianglala yang mampu menerobos gemerlap lampu malam di tengah nuansa. Aku begitu menikmati segala romansa ceria yang begitu hangat. Aku berusaha menerobos penat dalam belenggu cerita senja tak ternanti. Entah bagaimana aku mampu melukiskan segala hal yang akhir-akhir ini aku rasakan.

Aku menyusuri malam di tengah kerumunan manusia yang begitu bahagia. Aku larut dalam ceria gumpalan tawa tanpa duka, walaupun entah apa yang mereka rasakan dibalik itu semua. Entahlah, bukan urusanku juga. Hingga akhirnya aku terhenti pada titik sunyi karena dering hp bergetar cukup memekikkan dengan melodi, aku begitu berdegup dan gugup. Ternyata ada nomor baru mengirimiku pesan singkat.

“I see u” begitu bunyi pesan itu. Sontak saja aku langsung gemetar tiada henti. Bukan kalut, aku coba memastikan segala petikan cerna nada malam yang coba mengantarkanku pada kepingan cerita senja. Sempat aku ingin meneteskan air dari mata sayuku ini. Entah ini bahagia atau haru yang tiada terbendung. Tiba-tiba saja kaki terasa lemah tak mampu ku jalankan lagi, aku diam dan tak bisa berkata. Sebahagiakah ini? Sesedihkah ini? Atau sebodoh inikah aku atas setiap hal yang tak mampu ku pahami alurnya. Aku begitu gamang, semuanya terasa absurd.

Entah inikah kehebatan prasangka, aku merasa akan bertemu dengannya malam ini. Benar ternyata, aku menemuinya. Menemui dia yang beberapa hari ini menjadi cerita dalam setiap percakapan kecilku dengan Tuhan. Menemui dia yang beberapa jam lalu menjadi manusia yang paling sering kuceritakan pada awan, pada hujan, dan pada mentari. Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu dengannya. Entahlah, lagi-lagi entah. Begitu menjadi pesona paling menegangkan dalam setiap titik garis fokusku pada masa yang paling berat ini.

Sejenak aku berdiam. Suasana menjadi berubah tanpa arah. Aku ingin mengatakan aku bahagia, namun dia tak mengatakan demikian pada angin bahwa dia merasakan hal seperti itu . Aku ingin mengatakan aku sedih, namun dia tak mengutarakan pada Tuhan agar hujan mengiringi sedihku jika aku menangis. Aku ingin memanggil namanya, namun lagi-lagi malu merajai segala organ tubuhku. Alat ucap ini terasa kelu hanya untuk sekadar berkata “Kamu, terimakasih telah menyapaku terlebih dahulu”.

Dengan Kasih...
"Embun Jingga"

Kamis, 17 Mei 2012

Bukan Sebongkah Lagi (Hope 2)

Selamat pagi untukmu yang masih diberi waktu oleh Tuhan merasakan kehidupan ini. Pagi ini ilalang menari-menari setelah semalam menangis membaca isyarat darimu. Bukan menari melambai syahdu, melainkan menari karena hembusan angin yang menyebabkan energi kinetis untuknya. Melupakan isyarat tak menyenangkan itu ternyata mudah, cukuplah dengan memaafkan. Bukankah memaafkan adalah tindakan yang tak perlu diminta oleh orang yang kita sayangi? Karena dengan sendirinya ia akan datang menjamu hati yang dicondonginya.

Tuhan, aku bukan menyerah. Melainkan aku pasrah atas setiap hal yang belum seharusnya menjadi belenggu dalam setiap waktuku. Saat  di mana aku mengingat kedipan matanya, gerak langkahnya, gaya bicaranya, dan caranya menyapaku di siang itu. Ketika takdir memberikan waktu yang tak mampu ku ketahui kapan tibanya, aku tak ingin menyimpulkan semua itu sendiri.

Dalam rampalan munajatku padaNya untukmu setiap lima kali dua puluh empat jam bahkan lebih, bukan kulakukan  di altar itu, melainkan di sudut pojok ruangan di seberang jalan lentera itu. Aku selalu meminta pada Tuhan agar tak menjadikanmu sosok pengganggu dalam tidur malamku bahkan sebelum mata ini istirahat sejenak waktu, sosok pengganggu saat dosen memberikan kuliah tamu, atau bahkan sekedar saat aku akan makan karena aku masih berharap dapat menyuapimu. Namun lagi-lagi Tuhan belum mengabulkan semua munajatku. Apalah ini Tuhan, seperti dogma-dogma absurd yang tak mampu ku kendalikan.

Jalanan ini masihlah licin karena aku belum membersihkannya agar kesat, semua berlalu lalang dengan sigap dan cepat, seperti saat segala memori tentangmu berputar-putar yang membuat perutku tertwa riang. Lagi-lagi aku seperti mengikuti laju cerita yang berderu namun bukan ombak, menerjang bukan juga ombak, melainkan deruan pasir yang akan mengikis permukaan tanah. Seperti itu pula saat ini tentangmu di sela-sela jemariku. Memberi warna bukan hanya bahagia, duka, kecewa melainkan warna bukan lagi abu-abu.


Dengan Kasih...
"Embun Jingga"




Rabu, 16 Mei 2012

Bukan Sebongkah Lagi (Hope 1)

Gunung yang biasa terlihat dari jendela kamar sudah tak terlihat lagi. Ini tandanya hari sudah malam. Tak terlihat bintang menerobos masuk menembus tempat tidurku. Malah sebaliknya, ada yang menetes dari pelupuk mata sembab ini. Dalam gelap dalam sunyi dalam nuansa hening. Tiba-tiba saja turunlah mata air dari kedua mata sayuku saat dia mengatakan sesuatu itu. Bukan tentang kebahagiaan tepatnya.

Hati Hawa yang sensitif ataukah hati Adam yang tak peka. Bukan teori dalam ironi rasa, melainkan sebaliknya tentang analisis setelah berhipotesis ria. Aku menangisinya malam ini. Lagi-lagi dia tak merasa, lagi-lagi aku yang harus bercerita ria pada angin yang tak sepoi, pada langit yang sedikit muram, pada ilalang yang sempat kita bacakan make a wish untuknya. Ini asing bagi seorang wanita sepertiku. Merasalah!

Tak seharusnya aku bilang setiap pertemuan itu indah. Tapi karena dialah aku menganggapnya indah, karena dialah aku menganggapnya bukan hanya jelajah tanpa arah. Pertemuan dengannya mampu menghilangkan resah dan gundah dalam gamitan awan abu-abu. Aku menepis semua paradigma tentang pertemuan, yang aku catat hanya indah indah dan indah. Mungkin sebuah opini membosankan bagi yang hatinya belum merasakan sama denganku.
Apalah ini Tuhan, rasanya tak ingin menjadi seseorang yang terlalu mudah mengambil kesimpulan. Tuhan jatuhkan rahmatMu dalam setiap hal yang tak pernah kuinginkan sakit, tak kuinginkan kecewa, tak kuinginkan memadamkan rasa. Berjalan bersamaMu menghentikan kesembaban mata sayu ini, aku percaya di atas abu-abu itu masih ada terang, terang cahayaMu dalam kasihMu untukku dan untuknya.


Dengan Kasih...
"Embun Jingga"

Selasa, 15 Mei 2012

But not as sweet as you

Tentang pagi yang menanti matahari
Tentang senja yang menanti bintang
Tentang embun yang menanti giliran menetes pada ranting yang diam
Tentang goresan ini yang menanti kau baca (Embun Jingga)

Jika ada yang berkata pertemuan adalah takdir Tuhan, mungkin benar jika akhirnya aku harus percaya. Jika ada yang berkata dalam pertemuan tersirat banyak rahasia, lagi-lagi benar jika aku harus menganggukkan kepala. Jika ada yang berkata pertemuan tidak selamanya berakhir dengan apa yang kita inginkan, hatiku masih diam meresapi, benarkah?

Pagi ini aku berjalan lebih jauh saat berangkat mengemis ilmu di salah satu fakultas termuda pada salah satu perguruan tinggi ternama di nusantara. Jarak yang bisa ku tempuh dengan sepuluh menit saja bisa menjadi dua kali bahkan empat kali lipat lebih jauh. Aku pun tak berjalan cepat agar lekas sampai kemudian duduk rapi di dalam kelas. Aku pun memperlambat langkahku sejengkal demi sejengkal, agar tak lekas menjadi pemandangan teman-teman di kelas seperti biasanya saat aku masuk dan meneriakkan salam khas di dalam kelas.
Aku begitu menikmati setiap perjalanan yang ku tempuh. Perlahan dan sangat pelan, sesekali ku berhenti dan menengadahkan tanganku ke langit, namun sebelumnya ku lihat terlebih dahulu jalanan kecil yang ku lewati sepi atau ramai, jika sepi barulah ku berani melakukan hal konyol itu. Ku tutup mataku kecil, ku tersenyum lalu mengucapkan harapan terbesar kedua pagi ini. Ku lakukan itu lebih dari sekali di beberapa titik henti yang ku fokuskan. Aku benar-benar berharap, itu yang ku catat dalam memori terbatasku ini.


Tentang dia dan sekelumit rasa yang abstrak. Kalem dan bertutur kata halus, itulah kesan pertama saat aku menjumpainya di salah satu gedung kebanggan di universitas ini. Iya, universitas ternama di nusantara. Hari itu entah mengapa segalanya terasa bersahabat. Dimulai saat dia menghampiriku dengan tiba-tiba, tak perlu kuceritakan pada kegiatan apakah itu. Lagi-lagi aku masih malu. Tiba-tiba udara di ruangan yang kami tempati terasa sejuk, dan saat dia duduk di sebelahku semuanya terasa teduh. Lagi-lagi aku memastikan persahabatan alam dan aliran sengatan sinar dari kata hati.
Entah apa ini, segalanya terasa bukan abu-abu lagi. Ada dia, ada aku, ada mereka yang menyaksikan pertemuan kami. Pertemuan tentang hati yang sama-sama tak tahu menahu. Pertemuan tentang raga yang entah jiwanya berkata apa. Namun yang pasti saat itu hatiku gembira. Setiap patah kata yang terlontar terasa logis dan sistematis, mungkin ini efek si dia yang sesekali menebar senyum kecilnya, walaupun bukan padaku saja.
Terasa cepat, pertemuan ini terasa hanya beberapa detik saja. Aku masih ingat ketika dia menyebutkan beberapa kata yang tidak asing lagi di telingaku, tentang kata-kata yang tersusun seperti nada yang menciptakan lagu. Tentang kami, mungkin itu judul yang tepat. Mengapa kami? Belum tentu dia merasakan hal yang serupa. Bisa saja malah tidak sama sekali. Astagaaaa... berpikir apa aku Tuhan.
Dia melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah, aku amati, aku ringkas berapa kali dia bergeraka dalam setiap meter per detik. Aku sedikit menghafalkan dentuman bunyi sepatu hitamnya yang terlihat tepat berada di kaki makhluk Tuhan yang ada di depanku itu. Sungguh, setiap langkahnya bukan untuk dikagumi, melainkan untuk diamati kapankah arah sepatu itu tidak membelakangiku, melainkan berjalan ke depan tepat menghampiriku. Apa-apaan ini, pikiranku sudah kacau mungkin.
Pertemuan itu berulang, tidak hanya sekali, entahlah berapa kali, cukup kami dan mereka yang tahu serta menjadi saksi yang akan terbungkam jika waktu tak mampu bertanya. Tidak singkat, bagiku setiap satu menit kedipan matanya adalah sepersekian jam lamanya. Tidak singkat, bagiku setiap langkah kakinya yang melawan arah kata hatiku adalah sepersekian kali suasana menolakku dan tidak sependapat. Tidak singkat, bagiku lewat di sampingnya adalah satu dari sekian banyak mimpiku yang belum ku tulis, dan aku memerluakan waktu lebih dari enam ribu tujuh ratus enam puluh empat hari untuk mendapatkan kesempatan itu. 
To be continued...

Dengan Kasih...
"Embun Jingga"

Jumat, 04 Mei 2012

Cap Cip Cus Part II

Semoga menjadi hari terakhir di Kota Malang. Esok harus pulang pokoknya, tidak peduli ada acara apa di kota ini, rindu kampung halaman benar-benar menyiksa saya beberapa hari ini. Bagaimana tidak? Pikiran saya dipenuhi kerinduan, kerinduan masakan ibu, kebersamaan dengan keluarga, dan suasana kampung tercinta.


Parahnya lagi hari ini saya belum menemukan formula yang pas untuk menghilangkan kepenatan. Entah apa itu namanya, terkadang memang benar-benar menjatuhkan, serasa akan jatuh dari kolong langit. Saya sudah berusaha untuk tidak tinggal diam, saya berusaha untuk selalu cerita kepada Tuhan bahwa akhir-akhir ini saya seperti manusia kehilangan arah, terombang-ambing padahal berat badan saya sudah bertambah. Ada apa ini? Benar-benar mood tidak terjaga:)

Namun terimakasih saya ucapkan pada:
1. Allah SWT yang selalu menjadi cahaya bagi kehidupan saya yang masih labil ini.
2. Keluarga kecil saya yang selalu setia menemani saya dalam keadaan bagaimanapun itu.
3. Teman sekamar saya yang mungkin jenuh mendengar segala keluhan-keluhan saya minggu ini, terimakasih atas kesabarannya.
4. Dosen pembimbing akademik saya yang sudah menjadi orang tua kedua dalam hidup saya saat ini, tempat berkonsultasi dengan segudang permasalahan akademik.
5. Teman-teman pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Universitas Brawijaya yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Terimakasih sudah memberikan warna-warni dalam kehidupan saya.
6. Kakak Asisten Sekretaris Kabinet BEM ITS yang kemarin-kemarin sudah baik sekali kepada saya, seseorang yang tidak jarang membuat saya was-was, dan seseorang yang mungkin paling tidak saya mengerti, maaf atas setiap tindakan ketidakpekaan saya.
7. Kakak Ketua Laboratorium Politik dan Tata Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya yang kemarin baru selesai Exchange ke Thailand, terimakasih telah mengembalikan semangat saya untuk kembali mempersiapkan diri agar saya bisa exchange seperti anda. Perkenalan dengan anda banyak memberikan saya pelajaran.
8. Dosen-dosen saya, bu nia, bu prima, bu putri, bu jamila, pak dani, pak didin, pak wahyu, pak nanang, terimakasih banyak saya ucapkan kepada mereka.
9. Untuk semua orang yang sudah amat baik kepada saya. Arief Rahman Teknik Perkapalan ITS, Wilujeng Fitri Teknik Fisika ITS, Tri Rahma Dina Sastra Inggris UIN Malang, Ma'rifatul Ulfa, dan kalian yang membuat hidup saya ini terasa ada. Terimakasih:)

Seberat apapun hidup ini, percaya Tuhan telah mempersiapkan rencana yang paling indah untuk kita. 
Bekerja keras dalam berusaha dan berdoa, itu jalan berbeda yang dilakukan sedikit orang untuk menemui kesuksesannya.
Percaya, Tuhan bersama kita:)

Kamis, 03 Mei 2012

Cap Cip Cus

Cap cip cus:)

Terimakasih kepada Allah SWT yang selama ini selalu menjadi cahaya dalam setiap hal yang saya lakukan. NikmatNya tiada henti tercurah setiap saat, memberi IP 4,00 pada semester 1, memberi anugerah sehingga menjadi juara 1 MTQ Universitas Brawijaya Cabang Debat Kandungan Al-Qur'an Bahasa Indonesia, mengabulkan mimpi-mimpi saya untuk duduk di jajaran Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan, Riset dan Karya Ilmiah, Mata Pena, dan yang terhebat adalah memberi saya keluarga yang begitu istimewa.

Tentang hal-hal yang mengusik saya akhir-akhir ini.
Beberapa hari ini merupakan hari yang cukup berat untuk saya hadapi, mengapa demikian? Kuliah saya sepertinya berantakan, pola belajar yang tidak jelas (walaupun memang tidak pernah jelas), mengikuti beberapa event perlombaan yang jujur menguras segala daya upaya, deadline-deadline yang subhanallah dahsyatnya. Ampunnnn!!! Satu kata itu yang mampu saya ucapkan hari ini.

Konkretnya 2 hari belakangan ini, saat kemarin saya terlambat lebih dari 20 menit saat matakuliah pengantar pendidikan, kemudian hari ini saya terlambat lebih dari 20 menit untuk matakuliah filsafat dan ilmu logika, dan bahasa cina. Parahnya saya terlambat mengumpulkan tugas yang seharusnya dikumpulkan pada hari Selasa, dan hari Kamis. Sampai sore ini pun, saya belum mengumpulkan tugas matakuliah apresiasi prosa dan esai untuk duta bahasa. Separah inikah saya?

Stand Up!!!
You must go on pip:)

Ketika perbaaikan harus segera dijalani, mendekat lebih kepada Tuhan, bertindak tidak hanya berkata, selalu ingat keluarga di saat hampir mulai menyerah dan berleha-leha di asrama, bukankah penyesalan tidak ada yang hadir di awal cerita?

#Seberat apapun cobalah bertanggung jawab atas setiap tindakan dan konsisten atas setiap keputusan:)

Bismillah!!!