Aku sudah membaca surat darimu. Aku
begitu seksama seakan itu adalah sebuah kata yang ingin aku dengarkan darimu.
Aku tersontak ketika rasa benar-benar menyatukan kita, menyatukan tanpa raga
tetapi terganti jiwa. Terima kasih makhluk Tuhan berabjad A. Bagiku semua itu
adalah satu dari rangkaian simfoni yang selalu kunanti.
Tapi tiba-tiba rasa ini kembali
meragu. Meragu pada angan yang teramat jauh untuk sekadar diangankan. Aku
pernah jatuh dalam angan yang tidak mudah, aku bisa bangkit walau tertatih,
namun kali ini padamu aku tidak ingin. Aku ingin kita seperti ini. Menatap
dalam semu, membayang dalam pikir, dan merindu dalam cakap pada Tuhan.
Kadang seperti rasa yang begitu ingin
aku utarakan pada alam, bukan padamu. Rasa yang begitu membahana dalam segala
hal yang tidak mudah terdeskripsi, dalam atmosfer yang begitu asing. Tidak ada
celcius, tidak ada fahrenheit, tidak ada kelvin bahkan reamur. Semua seakan
asing hanya bersua pada dinding yang asing pula. Rasanya ingin ketika aku lelah
aku bisa bersandar pada dinding asing itu.
Ketika seakan banyak alasan membuatku
untuk sejenak berhenti, tapi laju pikirku tentangmu seakan hanya memiliki satu
rem. Iya benar, saat aku ingat kamu adalah ciptaan Tuhan. Bagaimana aku bisa
berharap padamu, sedang kamu saja berharap pada Tuhan? Baiklah, mari kita
sama-sama berharap pada Tuhan, berharap jika rasa yang kita miliki pastilah
memiliki hikmah dan akan selalu menebar manfaat serta kebahagiaan. Bukankah
begitu lebih membahagiakan kita? Membahagiakan rasa yang kamu dan aku miliki,
menyenangkan aku dan kamu yang tak pernah berani berbicara, menceritakan pada
alam saat kita sama-sama ingin diam? Bukankah begitu seseorang yang kutemui
pertama kali sedang mengenakan kemeja?
Kamu masih selalu jadi bahasan topik
nomor satu dalam setiap rangkaian alfabet yang aku tulis dalam blogku. Belum
terganti, entah sampai kapan, sampai lelah melaju...