Sabtu, 29 September 2018

CTM: Catatan Setelah Menikah (bagian satu)




Profil Penulis
Pernikahan merupakan gambaran dinamisnya sebuah kondisi psikis seseorang. Tidak perlu mencari tafsir hingga ke ujung dunia untuk merasakan kondisi tersebut. Namun sangat diperlukan aneka ilmu untuk memahami dan mengerti gejolak-gejolak yang dirasakan pasca pernikahan terbangun. Memosisikan diri sebagai perempuan sekaligus pelaku pernikahan aneka sudut pandang subjektif mulai membubuhi setiap tema yang akan diulas. Lantas benarkah kondisi tersebut dikatakan sebuah bentuk kesalahan? Tegas menjawab tidak sepenuhnya. Ada sebuah pepatah yang mengatakan the best teacher is experience. Jika ditautkan pada kondisi ini ulasan yang kemudian muncul yakni sebuah rangkaian perjalanan hidup. Ia yang dilalui adalah bentuk pembelajaran paling berharga.
Hal pertama yang harus dipahami adalah menjawab pertanyaan Siapa Aku? Deskripsikan sebanyakan mungkin tentang dirimu! Hal yang kemudian muncul adalah Akuasebelum pernikahan dan aku yang dibentuk setelah pernikahan. Adakah sosok aku yang kemudian banyak dipengaruhi oleh aneka aktivitas pasca pernikahan? Kita bebas menuliskan dan mendeskripsikan siapa diri kita sekarang. Kita seperti berbicara dengan diri sendiri. Menyampaikan kondisi terkini pada diri sendiri. Menerima setiap perubahan baik yang kita inginkan atau pun yang nyata kita benci pada diri sendiri.
Banyak cara untuk menjawab pertanyaan siapa aku? Jangan pernah menghabisi diri sendiri dengan menjawab secara tidak jujur untuk menggambarkan kondisimu saat ini. Kita membutuhkan ruang kejujuran sebagai upaya untuk mengatasi setiap masalah yang kemudian muncul saat ini. Menuliskan semua amarah pun tidak disalahkan dalam kondisi ini.
(bersambung)…

Jumat, 18 Mei 2018

Hanya Fiksi!

...Aku tak pernah memaksamu untuk selalu tinggal. Sering aku mengusirmu pergi dari segenap ingatan yang kumiliki. Hanya kusisakan satu ruang masa lalu yang di dalamnya hanya kuletakkan kepasrahan pada takdir. Aku mengusirmu jauh-jauh. Aku berlari dengan segenap masa depan yang kupilih. Aku tidak pernah membiarkanmu tinggal sedikit pun. Lalu mengapa kini bak jaring laba-laba pengabaian itu membentuk jaring yang justru membuatku hanya diam di tempat Mas? Dua puluh lima tahun berjalan, aku ingat pasti di bawah bianglala malam itu bukan semata fiksi yang kubuat sendiri untuk menyenangkan hatiku. Nyatanya aku pernah mengangan sejauh aku pernah melakukan perjalanan. Selamat malam, bolehkah aku menyapamu lagi malam ini?

Sepertinya tak pernah ada yang berbeda setiap tahunnya. Aku tak pernah bisa menyapa jika tak melalui tulisan-tulisan usang setiap malam. Sama persis dengan dua puluh lima tahun yang lalu. Kita hanya rutin mengirimkan salam selepas maghrib pada stasiun RRI Pro 2, tempat nangkringnya salam-salam rindu anak-anak muda seperti kita. Kita yang tak pernah memiliki ruang untuk berbagi cerita di dunia nyata. Hanya mengudara melalui tulisan di blog apatis atau pun suara sumbang penyiar radio kebanggaanmu. Kita hanya bisa berbalas cerita lewat tulisan-tulisan berisik yang mengusik setiap cerita di masa lalu. Benar saja, bukankah hari ini kita sedang merayakan kebahagian dengan masa depan masing-masing? 

Dalam sebuah janji yang tidak pernah tersampaikan, kita pernah mematrinya begitu dalam. Tidak ada ucapan-ucapan seremonial dua puluh lima tahun yang lalu. Kita hanya merapal sebisa kita meminta pada takdir yang akan menghampiri. Janji-janji itu kokoh terpatri dalam kala itu, terpupuk setiap masa dan menjadi keyakinan kita di masa depan. Namun, nyatanya kita tak pernah menepatinya. Kita sama-sama pergi dan menyerahkan masa depan pada setiap musim hujan yang menghampiri, pada setiap musim panas yang datang penuh harapan dan pada takdiri sesuai dengan keyakinan utuh kala itu.  Hingga pada satu titik dengan yakinnya kita memutuskan masa depan dengan orang-orang terbaik yang memiliki nyali lebih besar dari nyali kita. Aku lupa, nyatanya aku bukan hanya sekadar menyapa, melainkan sedang membuka rekaman-rekaman masa lalu yang angkuh untuk diterjemahkan. 

.....

(bersambung)