Senin, 27 Januari 2014

Layang - Layang

Sayang, kamu tahu lima tahun yang kita sepakati bersama untuk saling kembali, nyatanya dengan lebih sadar mengembalikan akal sehat ini bahwa lima tahun aku mencintai harapan. Iya sayang, aku mencintai harapan-harapan kamu, aku mencintai harapan-harapan yang kita sepakati sendiri.

Sudah lima hari hujan tidak juga mereda sepanjang sore. Ia mengalir, ia menciptakan cerita. Iya, cerita-cerita lima tahun yang lalu, yang setiap sore membekas, setiap sore menguak ingin bersentuhan. Persentuhan hati itu melekat, menyatu dengan hujan dan kebun bunga Matahari belakang rumah. Bukan rumah kita.
Sore ini tepat lima tahun kesepakatan kita untuk saling melepas dan mengejar mimpi-mimpi, yang katamu mimpi-mimpi kita. Iya, katamu bukan kataku. Mimpi-mimpi yang bisa kita satukan saat pertemuan yang dinanti tiba, iya, dinanti, entah dinanti siapa dan atas kesepakatan siapa. Sore ini nyatanya aku masih di sini dan belum dijemput siapa-siapa. Aku tidak ingin pulang.
Aku masih menyeduh energen vanila hangat dengan kombinasi air panas dan air dingin dalam gelas yang sama, iya gelas yang sama dengan gelas yang biasa kita pakai lima tahun yang lalu, aku masih ingat kita membelinya di salah satu toko perabotan dapur di ujung pasar itu. Kamu begitu lucu, kamu bilang gelas sama dengan cangkir, tapi beda dengan mangkok cina, kita saling tersenyum dan pemilik toko itupun mengirim simpul lugu untuk senyum-senyum kita. Aku bilang senyum itu menular, kamu mengangguk kita bertatap.
Aku menyeduhnya dengan pelan, aku tahu pekerjaan sebanyak ini tidak akan bisa aku selesaikan hingga pukul lima tanpa teman. Iya, tanpa teman. Tapi kisah kita setiap sore menjadi teman, iya temanku adalah kenangan lima tahun yang lalu bersama kamu. Kamu dan aku menjelma menjadi kita dan akhirnya membuat cerita, cerita yang menghempas seluruh mimpi-mimpiku, merombak total resolusi-resolusiku setiap tahun. Aku sadar melakukannya dan aku melawan tangis-tangis kenangan.
Iya sayang, tangis-tangis kenangan yang mengharukan. Lima tahun bersama kamu dan aku menjadi wanita paling beruntung dalam setiap cerita-cerita yang kita ciptakan. Kamu begitu sempurna menemaniku bermain sepeda setiap sabtu dan minggu, kamu begitu sempurna menemaniku bercocok kebun, kamu begitu bisa diandalkan untuk diajak berdiskusi dan kamu begitu bisa mengambil hatiku yang akhirnya kamu bawa lari, hingga akhirnya separuh hati tak tersisa ini sakit. Iya radang, memanas, melepuh dan akhirnya ia mati rasa. Bahkan hingga lima tahun perpisahan kita, aku masih berharap akan ada lima tahun lagi waktu yang lebih panjang untuk mengenang kita.
Mencintaimu tanpa muara. Aku menjalani hidupku dengan tidak sia-sia. Setiap harinya memuat engkau dalam setiap rubrik koran yang aku baca. Iya, memuat kamu dengan semua kesepakatan-kesepakatan kita yang kamu sebut komitmen. Selepas tangis sore itu, semuanya membuat mata terbuka. Aku mulai dengan pengerjaan tugas-tugas akhir dengan sungguh-sungguh, kamu bilang aku harus sungguh-sungguh, dan hasilnya aku berhasil menyelesaikan tugas akhirku dengan usaha terbaik dan hasil terbaik. Tapi di malam perayaan selesainya tugas akhirku aku pikir kamu akan datang, setidaknya menolerir sikap dan batas bahwa pertemuan kita cukup penting. Kamu tidak datang dan aku memaafkan bahwa kamu pria yang memegang teguh suatu ucapan, batinku saat itu.
Tuhan menyayangiku tanpa batas, dan cintaku padamu masih tanpa muara, ia tidak mengalir, aku yang mengemudikannya hingga ia tumbuh menyatu denganku dan dengan mimpi-mimpiku. Aku mulai bekerja di salah satu institusi pemerintahan, aku menjalani hariku dengan koreksi-koreksi data, aku menjalani pekerjaanku dengan bahagia. Hingga akhirnya aku bekerja di salah satu institusi pendidikan dan mimpiku sebagai pendidik akhirnya terealisasi, Tuhan Maha Sempurna dengan melengkapkan pekerjaanku sebagai salah satu peneliti di suatu lembaga. Aku ingin menceritakan itu semua padamu, tapi aku tahu kamu tidak memerlukan itu, kamu terlalu percaya diri untuk menjalani apa yang katamu baik. Semuanya berjalan, mimpi-mimpiku tidak jalan di tempat, tetapi kamu begitu pandai untuk menahan hatiku jalan di tempat. Ia tidak ingin berpaling hingga lima tahun kemudian datang dengan sendirinya.
Kamu masih ingat bukan ketika malam itu aku bernyanyi lagu Andaikan Kau Datang – Ruth Sahanaya? Kamu menyimakku dengan begitu bahagianya, kamu memujiku tanpa hentinya, kamu membuat semuanya sempurna. Iya sempurna, adanya kamu di sampingku setiap waktu bukan setiap aku butuh adalah sempurna. Hidupku ramai, hidupku pelangi, dan kita selalu dapat tersenyum dalam waktu yang sama. Aku hanya berkamuflase, aku hanya mengingat, mengenang bukan mengharap kamu datang. (bersambung)

Saya tulis untuk salah dua pembaca setia blog afifahrinjani.blogspot.com.
Semoga mampu mengobati keinginanmu membaca tulisan saya.
Terima kasih atas doanya, semoga fiksi yang diharapkan dapat segera terealisasi.

0 komentar:

Posting Komentar