Sayang, kamu
tahu lima tahun yang kita sepakati bersama untuk saling kembali, nyatanya
dengan lebih sadar mengembalikan akal sehat ini bahwa lima tahun aku mencintai
harapan. Iya sayang, aku mencintai harapan-harapan kamu, aku mencintai
harapan-harapan yang kita sepakati sendiri.
Sudah lima hari hujan tidak juga mereda sepanjang sore. Ia
mengalir, ia menciptakan cerita. Iya, cerita-cerita lima tahun yang lalu, yang
setiap sore membekas, setiap sore menguak ingin bersentuhan. Persentuhan hati
itu melekat, menyatu dengan hujan dan kebun bunga Matahari belakang rumah.
Bukan rumah kita.
Sore ini tepat lima tahun kesepakatan kita untuk saling melepas
dan mengejar mimpi-mimpi, yang katamu mimpi-mimpi kita. Iya, katamu bukan
kataku. Mimpi-mimpi yang bisa kita satukan saat pertemuan yang dinanti tiba,
iya, dinanti, entah dinanti siapa dan atas kesepakatan siapa. Sore ini nyatanya
aku masih di sini dan belum dijemput siapa-siapa. Aku tidak ingin pulang.
Aku masih menyeduh energen vanila hangat dengan kombinasi
air panas dan air dingin dalam gelas yang sama, iya gelas yang sama dengan
gelas yang biasa kita pakai lima tahun yang lalu, aku masih ingat kita
membelinya di salah satu toko perabotan dapur di ujung pasar itu. Kamu begitu
lucu, kamu bilang gelas sama dengan cangkir, tapi beda dengan mangkok cina,
kita saling tersenyum dan pemilik toko itupun mengirim simpul lugu untuk
senyum-senyum kita. Aku bilang senyum itu menular, kamu mengangguk kita
bertatap.
Aku menyeduhnya dengan pelan, aku tahu pekerjaan sebanyak ini
tidak akan bisa aku selesaikan hingga pukul lima tanpa teman. Iya, tanpa teman.
Tapi kisah kita setiap sore menjadi teman, iya temanku adalah kenangan lima
tahun yang lalu bersama kamu. Kamu dan aku menjelma menjadi kita dan
akhirnya membuat cerita, cerita yang menghempas seluruh mimpi-mimpiku, merombak
total resolusi-resolusiku setiap tahun. Aku sadar melakukannya dan aku melawan
tangis-tangis kenangan.
Iya sayang, tangis-tangis kenangan yang mengharukan. Lima tahun
bersama kamu dan aku menjadi wanita paling beruntung dalam setiap cerita-cerita
yang kita ciptakan. Kamu begitu sempurna menemaniku bermain sepeda setiap sabtu
dan minggu, kamu begitu sempurna menemaniku bercocok kebun, kamu begitu bisa
diandalkan untuk diajak berdiskusi dan kamu begitu bisa mengambil hatiku yang
akhirnya kamu bawa lari, hingga akhirnya separuh hati tak tersisa ini sakit.
Iya radang, memanas, melepuh dan akhirnya ia mati rasa. Bahkan hingga lima
tahun perpisahan kita, aku masih berharap akan ada lima tahun lagi waktu yang
lebih panjang untuk mengenang kita.
Mencintaimu tanpa muara. Aku menjalani hidupku dengan tidak
sia-sia. Setiap harinya memuat engkau dalam setiap rubrik koran yang aku baca.
Iya, memuat kamu dengan semua kesepakatan-kesepakatan kita yang kamu sebut komitmen.
Selepas tangis sore itu, semuanya membuat mata terbuka. Aku mulai dengan
pengerjaan tugas-tugas akhir dengan sungguh-sungguh, kamu bilang aku harus
sungguh-sungguh, dan hasilnya aku berhasil menyelesaikan tugas akhirku dengan
usaha terbaik dan hasil terbaik. Tapi di malam perayaan selesainya tugas
akhirku aku pikir kamu akan datang, setidaknya menolerir sikap dan batas
bahwa pertemuan kita cukup penting. Kamu tidak datang dan aku memaafkan
bahwa kamu pria yang memegang teguh suatu ucapan, batinku saat itu.
Tuhan menyayangiku tanpa batas, dan cintaku padamu masih tanpa
muara, ia tidak mengalir, aku yang mengemudikannya hingga ia tumbuh menyatu
denganku dan dengan mimpi-mimpiku. Aku mulai bekerja di salah satu institusi
pemerintahan, aku menjalani hariku dengan koreksi-koreksi data, aku menjalani
pekerjaanku dengan bahagia. Hingga akhirnya aku bekerja di salah satu institusi
pendidikan dan mimpiku sebagai pendidik akhirnya terealisasi, Tuhan Maha
Sempurna dengan melengkapkan pekerjaanku sebagai salah satu peneliti di
suatu lembaga. Aku ingin menceritakan itu semua padamu, tapi aku tahu
kamu tidak memerlukan itu, kamu terlalu percaya diri untuk menjalani apa yang
katamu baik. Semuanya berjalan, mimpi-mimpiku tidak jalan di tempat, tetapi
kamu begitu pandai untuk menahan hatiku jalan di tempat. Ia tidak ingin
berpaling hingga lima tahun kemudian datang dengan sendirinya.
Kamu masih ingat bukan ketika malam itu aku bernyanyi lagu Andaikan
Kau Datang – Ruth Sahanaya? Kamu menyimakku dengan begitu
bahagianya, kamu memujiku tanpa hentinya, kamu membuat semuanya sempurna. Iya
sempurna, adanya kamu di sampingku setiap waktu bukan setiap aku butuh adalah
sempurna. Hidupku ramai, hidupku pelangi, dan kita selalu dapat tersenyum dalam
waktu yang sama. Aku hanya berkamuflase, aku hanya mengingat, mengenang bukan
mengharap kamu datang. (bersambung)
Saya
tulis untuk salah dua pembaca setia blog afifahrinjani.blogspot.com.
Semoga
mampu mengobati keinginanmu membaca tulisan saya.
Terima
kasih atas doanya, semoga fiksi yang
diharapkan dapat segera terealisasi.
0 komentar:
Posting Komentar