...Ke manapun akhirnya muara dari
jalan hidup yang kupilih, tak sedetik pun aku hendak meninggalkan Ngawi dan
Indonesia...
Dua puluh tiga tahun yang lalu
aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapakku seorang guru
sekolah dasar yang berjarak tempuh hampir 15 km dari rumah kami. Beliau
ditempatkan di daerah yang dapat kukatakan cukup pedalaman, bagaimana tidak?
Saat ku masih belum menempuh bangku sekolah dasar, aku sering diajak bapak
menemaninya mengajar di sekolah dasar tersebut. Ingat betul, jalanan yang tak
beraturan, lubang rusak mengkhawatirkan, seperti tak ada lagi kehidupan karena
kami harus menempuh jarak yang tidak sebentar, hutan rimbun yang ketika lepas
hujan dan menjelang senja amatlah menyeramkan, bapak pergi mengenakan sepeda
motor vespanya. Ada satu yang sering membuatku bahagia, ketika berangkat dan
pulang sekolah para murid bapak bahkan warga sekitar sekolah tempat bapak
mengajar, sering memberi senyum pada kami. Aku bahagia karena itu kali pertama
yang masih sangat kuingat tentang arti kebahagiaan. Aku pun masih ingat benar
sekolah dasar tempat bapak mengajar tertutup oleh kebun tebu yang begitu luas.
Menyamai gerbang sekolah kala itu, maklum sekolah tempat bapak mengajar tak
memiliki gerbang kala itu.
Mungkin sejak itu aku memiliki cita-cita menjadi
seorang guru. Entah itu cita-cita terburu-buru ataukah nyata demikian. Wali
kelas ketika ku kelas enam meminta semua siswa mengisi buku memori yang berisi
identitas singkat, tak pelik pastilah ada cita-cita yang harus dituliskan,
dengan girangnya kutulis aku ingin menjadi seorang guru. Cita-cita itu
ketika ku mulai menginjak usia remaja kuanggap cita-cita yang paling
spesifik di antara cita-cita temanku pada buku memori tersebut. Mayoritas
mereka menuliskan ingin berguna bagi bangsa, agama dan negara. Sebuah
cita-cita yang ketika ku menginjak remaja adalah kategori cita-cita paling famous
atau populer, tetapi cita-cita yang kala itu bagiku paling tidak
spesifik. Kuingat benar hanya satu kolom yang kosong kala itu, iya, kolom
nomor telepon. Kolom itu tak kuisi gegara memang bapak dan ibuk belumlah
memiliki telepon. Kuingat benar kala itu telah masuk kisaran tahun 2004, dan wartel
merupakan satu-satunya tempatku untuk bisa berkomunikasi dengan mereka.
Bapak pun tak jarang pergi ke rumah teman mengajarnya di kota, tidak hanya
untuk bersilaturahim tetapi juga untuk menitip surat atau sekadar meminjam
telepon rumah. Tak akan pernah habis jika kuharus menceritakan tentang bapak.
Dewasa ini bapak pertama kalinya menceritakan padaku, bahwa sebenarnya tatkala
ia lolos tes sebagai calon pegawai negeri sipil, bapak pernah ditawari
untuk mendapatkan penempatan yang tak begitu jauh dari rumah kami, tetapi
dengan syarat bapak harus membayar sekian puluh ribu rupiah untuk penempatan
tersebut, tentulah bapak menolak. Bagi bapak, itu adalah keputusan terbaik
dalam hidupnya. Jikalau mungkin tak demikian ceritanya, tentu tak akan ada
cerita-cerita mengharukan dan berhikmah bagi kehidupanku. Sampai sekarang pun
bapak masihlah harus kokoh untuk terus mengabdi pada sekolah dasar tersebut,
aku semakin paham, ada nilai dasar yang bapak tanamkan padaku tentang
berkehidupan. Kerja keras untuk mengabdi tak usai lekas. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar