Selamat pagi hari pertama. Lama belum menyempatkan diri untuk memosting
di blog. Apa kabar? Itu pertanyaan pertama yang ingin saya tanyakan pada setiap
raga yang menyempatkan diri untuk membaca tulisan di blog saya. Semoga kita
selalu dalam kebermanfaatan untuk sesama.
Akhir-akhir ini saya mulai merasakan euforia warna-warni kehidupan
kampus. Mengapa baru merasakan? Ke mana saja saya selama ini? Pertanyaan itulah
yang pasti ada dibenak sahabat mengenai diri saya. Kronologinya cukup panjang,
tapi menyenangkan juga jika akhirnya harus saya bagikan kepada sahabat setia
pembaca blog saya.
Di mulai sekitar dua pekan yang lalu. Saya diajak oleh beberapa kakak
tingkat saya untuk mengikuti rangkaian kegiatan idul adha oleh rohis fakultas.
Perasaan saya saat itu benar-benar dag dig dug, kok bisa? Jelas bisa, saya yang
notabene bukan anak rohis harus berbaur bersama anak-anak rohis, dilihat dari
berbagai sudut jelas saya berbeda dengan anak-anak rohis. Walaupun cukup banyak
yang tertipu dan mengira bahwa saya termasuk satu dari sekian anak rohis.
Rangkaian acaranya cukup menyenangkan, mulai dari ta’aruf bersama
kakak-kakak rohis, ibadah malam, sholat idul adha (sholat idul adha kedua di
tanah rantau), berbagi bersama anak-anak TPA, mengolah daging qurban, hingga
makan bersama. Semuanya cukup menyenangkan bagi saya. Hal yang paling berkesan
adalah ketika saya harus mengendarai motor membonceng teman saya dari depan kos
hingga lokasi dan sempat menyasar ke area tidak jelas (baca: jalan terjal,
tidak ada penerangan, seperti kawasan industri, horor), dan saat saya mencoba
membuat sate dengan peralatan yang ala kadarnya (baca: tanpa besi pematang,
tanpa kipas angin, tanpa properti yang lengkap). Semua cerita itu begitu
menyenangkan.
Kegiatan bersama anak rohis pun telah usai, berganti dengan tuntutan
kefokusan saya untuk menyelesaikan PKM-M. Penyelesaian PKM-M pun diwarnai
cerita yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya kita mengerjakan
tidak di base camp untama (baca: gazebo perpustakaan) melainkan di kos saya.
Saya harus menjelm menjadi ibu rumah tangga, mulai menanak nasi, menyiapkan
minum, mengolah daging, menyiapkan camilan, dll semua begitu terasa
menyenangkan. Sampai pada akhirnya satu persatu berkomentar, dianggap memuji
sih iya, tapi dibilang membuat GR, mungkin. PKM-M pun akhirnya trselesaikan
walaupunb harus didahului oleh pro kontra diantara kamai (baca: mas rizky, mbak
gita, dito, dan shan). Semoga PKM-M kita benar-benar tercapai goalnya. Semoga
tidak hanya berhenti sebatas proposal. Semangat untuk mencari sponsor dan
menerjemahkannya ke bahasa inggris ya.
Cerita tidak berhenti sampai di sini. Agenda Diklat dan Open Recruitment
himpunan pun di mulai. Satu minggu penuh membuat segala tata aturan dan
mempersiapkan segala keperluan OR benar-benar mengajari saya untuk lebih
bekerja keras dalam hidup. Bagaimana bisa? Jelas saja bisa, bayangkan saja
ketika seseorang harus dituntut cerdas memahami kondisi, cerdas memenuhi
kebutuhan para rakyatnya dalam mencari pemimpin (ceileh...kayak apa aja).
Dengan moto mencari pemimpin tidak hanya mementingkan jumlah kepala tetapi juga
isi kelapa, membuat saya semakin gencar menata aturan. Ditemani teman-teman
yang satu visi alhamdulillah segala rangkaian acara Open Recruitment berjalan
lancar dan sukses, agenda diklat siap dilimpahkan ke pihak yang bertugas. Saya
begitu menyayangi jurusan dan himpunan saya, saya merasa terpanggil untuk
memberikan kontribusi nyata. Indonesi, Satu, Jaya (begitulah jargon himpunan
saya).
Agenda selanjutnya adalah menyelesaikan tugas penelitian
bersama dosen. Saya harus menganalisis buku Lekra dengan cara yang lebih
instan. Saya yang notabene belum menjadi seseorang yang gemar membaca buku,
dituntut harus menyelesaikan lebih dari tiga ratus halaman. Semua itu bagi saya
sungguh luar biasa. Saya merasakan mendapat manfaatnya. Buku yang berisikan
segala hal berbau petani yang dihadapkan pada masa komunis (PKI) benar-benar
membentuk sudut pandang kita terhadap kejadian saat itu. Sedikit mendikte,
tetapi memberikan wawasan cakrawala yang luar biasa. Satu kutipan yang begitu
mengena di hati saya saat membaca salah satu cerpen dalam buku tersebut “Perjuangan adalah sesuatu yang menyerempet bahaya, getir,
tapi indah. (Tamrin, M dalam Trisik).” Kutipan inspiratif yang hingga saat ini
masih pampang di timeline laptop saya.
Amanah selanjutnya adalah
menjadi staf acara Pemilihan Raya Mahasiswa Universitas Brawijaya (PEMIRA UB).
Mengusung tema Sinergis saya bersama teman-teman dituntut bekerja lebih keras
untuk mencari pemimpin yang benar-benar menjadi kebutuhan rakyat (baca:
mahasiswa Universitas Brawijaya). Bagi saya menjadi panitia pemira merupakan
satu langkah ketidaksengajaan ketika saya tiba-tiba tepat hari terakhir harus
mendaftarkan diri dan mengikuti wawancara dengan kakak-kakak DPM Pusat. Semoga
saja saya tetap bisa menjaga idealisme saya menjelang pesta demokrasi ini.
Jargon yang sering saya teriakan bersama teman-teman adalah “ Satu Bulan
Bisa!"
Satu hari sebelum rapat tim Juknis, rapat divisi, hingga
rapat besar saya tengah melewati momen yang cukup membahagiakan. Momen itu saya
dapatkan saat menjadi koordinator advisor Krida Mahasiswa Program Studi. Hari
itu adalah hari terakhir saya bersama teman-teman menjadi panitia. Mengusung
tema sastra, acara penutupan berlangsung dengan sangat meriah. Bagaimana tidak?
Berbicara krima, Krima merupakan satu program terbaru fakultas dalam memberi
orientasi wawasan kepada mahasiswa baru
setiap program studi. Program ini saya anggap merupakan dukungan berotonomi
secara penuh kepada program studi untuk menyajikan segala hal terbaik bagi
setiap mahasiswa baru yang datang. Hal yang cukup berkesan saat itu adalah
ketika saya mendapatkan satu surat berwarna pink, dan satu kado berisi satu
permen berbunyi “sensor”. Bagi saya semua itu adalah apresiasi terhadap keberadaan
saya saat itu. Bukan terbanyak yang istimewa lebih dari itu rasa
kebermanfaatanlah yang harus selalu ditebarkan. Rasa haru pun mulai terasa saat
saya dan teman-teman melakukan agenda evaluasi. Pada momen inilah kita
bersama-sama belajar bahwa setiap kesalahan adalah segal proses menuju
kesempurnaan berpola pandang manusia. Saya sangat berterima kasih kepada
seluruh panitia (baca: Pak kapel achsan, rekan-rekan advisor bambang, ika
mazkia, faishal, ighfir, ika karizma, nita ayu, wiwik, fida’, intan, dan wika
serta panitia yang lain), untuk kerja keras kalian, satu kata “ISTIMEWA”.
Tugas-tugas pun mulai berhamburan, mulai membuat peta
konsep setiap pertemuan, presentasi, penelitian, kuis, dan lain-lain. Merupakan
rangkaian keadaan wajib bagi mahasiswa. Tidak hanya saya, mungkin bagi
mahasiswa seluruh Indonesia keadaan seperti ini adalah suatu keharusan. Saya
mulai sedikit banyak harus mengatur proporsi agar tetap seimbang, tetap
berkonsentrasi, dan tetap menjaga kualitas akademik dalam diri saya. Untuk
segala tugas yang luar biasa ini saya masih percaya satu semangat “man jadda wa
jada”. Ini merupakan satu dunia yang harus saya taklukan untuk menjadi seorang
dosen dan praktisi pendidikan.
Mungkin saya tidak dapat menceritakan segala hal yang saya
alami selain rangkaian agenda di atas, karena bagi saya itu cukup melelahkan
untuk ditulis dalam satu jam. Saya mulai belajar banyak dalam hidup, saya
merasa terdapat perbedaan yang lebih baik sebelum fase yang sedang saya jalani
sekarang. Semoga itu semua tidak hanya perasaan sepihak saya saja, melainkan
memang suatu kebenaran yang benar terjadi saat ini.
Ketika waktu adalah suatu cerminan masa yang telah,
sedang, atau akan saya jalani, maka saya ingin selalu berkaca, masihkah saya
samar, masihkah saya tak terlihat karena tertutup buruk, atau sudahkah saya terpandang
jelas karena baik? RAHASIA! Bukankah baik menurut saya belum tentu baik menurut
Allah, bukankah buruk menurut saya belum tentu buruk menurut Allah?
Satu yang bisa saya kerjakan saat ini adalah selalu berusaha
melakukan yang terbaik dengan cara yang baik. Sekaligus menjawab persepsi
teman-teman saya yang mungkin cukup sering menganggap saya tidak peka terhadap
setiap ‘adam’ yang menghampiri saya, karena terlanjur larut dalam segala euforia
kampus, saya katakan “ Satu rasa condong itu pasti ada dan datang. Satu rasa
condong itu pasti berbalut malu karena kodrat saya sebagai wanita. Satu rasa condong
itu pasti ingin selalu dijaga. Saat rasa condong itu menginginkan untuk dijaga
dalam diamnya, biarlah saya menjaganya, biarlah saya mengistimewakan dengan
cara saya sendiri, semata-mata karena saya selalu percaya, Tuhan yang
membolak-balikan hati manusia. Semoga Tuhan selalu menetapkan hati yang tepat
pada suatu waktuNya. Kapankah itu? RAHASIA, satu yang jelas, saat saya sudah
dianggap Tuhan SIAP menerima rasa”.
(Malang, dua belas november dua ribu dua belas)
0 komentar:
Posting Komentar