Senin, 28 Januari 2013

HARI PERTAMA

Ini adalah hari pertama aku tanpa mereka, mereka yang senantiasa mengisi dan memberikan berbagai tuntutan dan pilihan dalam hidupku. Bukan aku ingin menjadi sosok sok tegar, sok kuat, sok angkuh, sok-sok-sok dan sok lainnya. Dalam hidup kita diberi banyak pilihan, pilihan saling menggunakan kesempatan saat sama-sama jatuh hati, membuang kesempatan karena menyakini ada kesempatan lain yang lebih indah, menjadikan kesempatan hanya sebagai media coba-mencoba dalam peruntungan kisah, dan menjadikan hidup ini hanya sebagai drama kolosal yang pemenang seringkali bertubi-tubi mengalami kekalahan, entahlah... aku hanya pandai mendeskripsikan.

Luka yang menganga lebih dari tiga ratus lima puluh enam hari dikali empat bahkan enam ini akhirnya membusuk juga. Bagaimana tidak, garam saja tak enggan menyipratinya dengan sesendok air takaran sirup tiada henti, ia membusuk berbau dan menjijikan. Rasanya mengering itu seperti mimpi, iya mimpi buta bahwa manusia tak akan lagi merasakan luka. Membuat dibuat bahkan menjadi racun penyebar luka itu suatu metamorfosis hidup yang teramat keji. Aku merasakan itu.

Luka itu akhirnya datang. Ia menjadi sorotan yang merajang-rajang bahkan menguliti perasaanku. Ia dengan kejam menghardik setiap perjuangan yang diam-diam aku lakukan, tapi sampah. Ia menjadi seolah-olah air putih yang meracuni dengan senyawa kimia terganasnya. Sial, aku menjadi satu sebaran lukanya. Aku kurang waspada hingga aku hampir mati dengan konyolnya. Luka itu seperti nestapa buatan para pemilik otak luar biasa, iya luar b iasa cerdasnya. Aku merasakan luka.

Ini bukan antara rasa yang akhirnya terkubur dalam entah hingga berapa puluh tahun dalam hidupku. Aku masih ingin normatif dalam hidup, ingin berbahagia dengan lima belas ribu balon setiap lima belas bulan ketiga masehi setiap tahunnya. Aku masih ingin meraih satu-persatu mimpi untuk menjadi agent of change negeri ini. Aku juga masih ingin menjadi bagian cerita manis tentang rasa yang akhirnya dipertemukan dengan belahan kecocokan yang akan menemaninya hingga denyut jantung seakan flat dan normatif (pergi selamnya), kebahagiaan itu selalu dan masih selalu ingin menjadi mimpi, tapi bukan saat ini.

Maaf kuhaturkan pada setiap rasa-rasa yang pernah kutaburkan pada jiwa-jiwa yang pernah mencoba dan bahkan telah mengisi. Aku bukan pergi dan tak bertanggung jawab atas setiap hentakan rasa ini, aku hanya sedang dihardik luka sedam-dalamnya. Bagaimanapun aku tetap hawa yang senantiasa mudah tersentuh rasanya, bahagia itu cita, tapi luka masih terlalu menjadi pemenang dan peran utama. Aku kalah, akhirnya aku mengalah. Pasca risalah-risalah ini tertuang, tiga ratus lima puluh enam hari dikali tujuh hingga sepuluh akan tersambut juga masanya, masa di mana bahagia mengiringi setiap titik-titik keringat manusia yang berjuang, salah satunya aku. Aku yakin aku pemenang dan aku bahagia dengan semua mimpi yang tercoret karena kugapai manisnya.

Lingkar Cahaya, dua puluh delapan januari dua ribu tiga belas pukul tujuh belas lima puluh.

1 komentar: