Ini adalah hari pertama
aku tanpa mereka, mereka yang senantiasa mengisi dan memberikan berbagai
tuntutan dan pilihan dalam hidupku. Bukan aku ingin menjadi sosok sok tegar,
sok kuat, sok angkuh, sok-sok-sok dan sok lainnya. Dalam hidup kita diberi
banyak pilihan, pilihan saling menggunakan kesempatan saat sama-sama jatuh
hati, membuang kesempatan karena menyakini ada kesempatan lain yang lebih
indah, menjadikan kesempatan hanya sebagai media coba-mencoba dalam peruntungan
kisah, dan menjadikan hidup ini hanya sebagai drama kolosal yang pemenang
seringkali bertubi-tubi mengalami kekalahan, entahlah... aku hanya pandai
mendeskripsikan.
Luka yang menganga
lebih dari tiga ratus lima puluh enam hari dikali empat bahkan enam ini
akhirnya membusuk juga. Bagaimana tidak, garam saja tak enggan menyipratinya
dengan sesendok air takaran sirup tiada henti, ia membusuk berbau dan
menjijikan. Rasanya mengering itu seperti mimpi, iya mimpi buta bahwa manusia
tak akan lagi merasakan luka. Membuat dibuat bahkan menjadi racun penyebar luka
itu suatu metamorfosis hidup yang teramat keji. Aku merasakan itu.
Luka itu akhirnya
datang. Ia menjadi sorotan yang merajang-rajang bahkan menguliti perasaanku. Ia
dengan kejam menghardik setiap perjuangan yang diam-diam aku lakukan, tapi
sampah. Ia menjadi seolah-olah air putih yang meracuni dengan senyawa kimia
terganasnya. Sial, aku menjadi satu sebaran lukanya. Aku kurang waspada hingga
aku hampir mati dengan konyolnya. Luka itu seperti nestapa buatan para pemilik
otak luar biasa, iya luar b iasa cerdasnya. Aku merasakan luka.
Ini bukan antara rasa
yang akhirnya terkubur dalam entah hingga berapa puluh tahun dalam hidupku. Aku
masih ingin normatif dalam hidup, ingin berbahagia dengan lima belas ribu balon
setiap lima belas bulan ketiga masehi setiap tahunnya. Aku masih ingin meraih
satu-persatu mimpi untuk menjadi agent of change negeri ini. Aku juga masih
ingin menjadi bagian cerita manis tentang rasa yang akhirnya dipertemukan
dengan belahan kecocokan yang akan menemaninya hingga denyut jantung seakan
flat dan normatif (pergi selamnya), kebahagiaan itu selalu dan masih selalu
ingin menjadi mimpi, tapi bukan saat ini.
Maaf kuhaturkan pada
setiap rasa-rasa yang pernah kutaburkan pada jiwa-jiwa yang pernah mencoba dan
bahkan telah mengisi. Aku bukan pergi dan tak bertanggung jawab atas setiap
hentakan rasa ini, aku hanya sedang dihardik luka sedam-dalamnya. Bagaimanapun
aku tetap hawa yang senantiasa mudah tersentuh rasanya, bahagia itu cita, tapi
luka masih terlalu menjadi pemenang dan peran utama. Aku kalah, akhirnya aku
mengalah. Pasca risalah-risalah ini tertuang, tiga ratus lima puluh enam hari
dikali tujuh hingga sepuluh akan tersambut juga masanya, masa di mana bahagia
mengiringi setiap titik-titik keringat manusia yang berjuang, salah satunya
aku. Aku yakin aku pemenang dan aku bahagia dengan semua mimpi yang tercoret
karena kugapai manisnya.
Lingkar
Cahaya, dua puluh delapan januari dua ribu tiga belas pukul tujuh belas lima
puluh.
Semangat
BalasHapus