Pagi
ini seakan mengoyak seluruh jiwaku untuk tidak melaju menuju siang. Iya,
mengoyak setengah dari jiwamu yang pernah kau titipkan padaku. Benar-benar
mengoyak seperti angin yang tak pernah aku tahu bagaimana cara berhembusnya.
Apakah kamu lalai untuk menghadangnya dengan rantingmu? Pagi ini jiwaku yang
terdiri atas setengah jiwaku dan setengah jiwamu yang akhirnya menjadi satu
padu dan membuat hidupku masih bertahan untuk alam ini seperti terkoyak habis.
Pagi seakan-akan tak ingin memberi hati budinya untukku.
Aku
berjalan ringkih mendekatimu daun, aku bertanya apakah pagar terali yang kita
buat bersama tidak kau simpan lagi? Apakah kamu lupa setiap pagi kamu harus
mengokohkan pagar terali kita? Aku masih ingat, bahkan kau kaitkan pagar terali
itu pada satu bagian klorofilmu, sehingga ketika siang datang, aku masih dapat
bertengger menjadi embun untukmu. Apakah sudah kau lepaskan?
Aku
bimbang bagaimana mengajakmu kembali bersahabat dengan pagi. Aku bimbang
bagaimana mengajak harimu tertawa seperti saat kita menikmati sentuhan pagi
setiap hari. Aku bimbang bagaimana caraku mengokohkan pagar terali itu untuk
melindungi kita. Aku bimbang daun... aku seperti hanya embun yang hilang warna
setiap kamu tak ada lagi. Aku seperti embun yang hanya mampu menetesi ranting
tanpa kau bantu menetesinya. Aku seperti berlawan arah dengan pagi. Aku tak
ingin lekas senja. Aku masih ingin bersama pagi bersama kamu.
Jika
aku tak pernah mengerti bagaimana daun dapat selalu berwarna hijau, aku hanya
sedikit mengerti bagaimana aku selalu menjaganya agar terlihat lebih hijau
setiap pagi. Jika aku tak pernah mengerti bagaimana ranting selalu ingin
bersamamu, aku hanya sedikit mengerti bagaimana aku juga ingin selalu
disandingkan denganmu, dengan pagi dan dengan matahari. Kita hanya miliki alam
sebagai rumah, tapi bukankah kita sudah miliki keluarga yang selalu dapat
menjadi cerita dalam dimensi kita daun?
Balada Daun dan Embun...
Delapan belas di bulan kelima,
masih dalam tahun yang penuh pengharapan...
0 komentar:
Posting Komentar