Kebebasan itu seperti terbang. Bebas
mengawang dalam segala dimensi. Bebas kapan saja ke kanan, ke kiri, ke depan,
ke belakang, berputar, mengambang, dan semua kosakata yang mengarah pada nafas
yang lega. Kebebasan itu kompleks. Bukan kompleks menciptakan, bukan kompleks
memangku beban, bukan pula kompleks berpikir pelik, melainkan bebas itu
bernafas tanpa batas, tanpa melampaui syukur.
Bagiku berkutat dengan ketidakbebasan
adalah melalui hidup dengan terikat. Terikat dengan segala aturan yang terbuat
sendiri. Dalam konteks ini terlepas dari kepercayaan dan sosial dalam hidup.
Aku tak sedang membicarakan terkait dua poin tersebut. Bebas di sini aku juga
tak ingin seperti burung yang terkadang lupa bagaimana cara pulang. Aku tak
ingin menyamakannya dengan apapun dan siapapun. Aku hanya ingin kebebasan.
Kebebasan itu bebas bercita, bebas
berkarya, bebas menentukan jalan, dan bebas menentukan arah hidup. Bagaimana
akhirnya aku lebih memilih kebebasan dari pada selalu terikat dengan aturan
yang terbuat sendiri, bukan sebab, bukan pula inginan. Aku hanya ingin bebas
meminum air kelapa di pinggir pantai yang tenang bersama angin dan bersama
cinta Tuhan. Kebebasan itu, dan masih aku agungkan.
Melewati kebebasan tanpa cinta itu
tak mungkin. Bukan, bukan tentang cinta yang mengarahnya pada lawan jenis.
Lebih dari itu, aku ingin semakin bebas dengan cinta yang kutebar pada setiap
aspek kehidupan yang membutuhkan. Bagaimana bisa pikiranmu sempit bahwa cinta
hanya untuk laki-laki pada perempuan, perempuan pada laki-laki, bahkan kepada
sesama jenis sekalipun. Terlalu dangkal, aku ingin memaknainya secara bebas.
Iya, dengan kebebasan yang entah bagaimana mereka artikan.
Dan sekali lagi ini awal aku
bercerita tentang kebebasan. Aku bebas bagaimana menerjemahkan hidup. Aku bebas
bagaimana berjuang dengan segala caraku sendiri. Aku ingin berhenti dari setiap
hal yang membuatku tak bebas. Termasuk kebebasanku tentang bercerita.
0 komentar:
Posting Komentar