Pulang karya Laela S.Cudlori rekam
jejak 1965 – 1998 berkisah tentang Dimas Suryo, Lintang Utara dan Segara Alam.
Tentang cinta, persahabata, pengkhianatan dan keinginan pulang ke Indonesia
setelah sekian lama menjadi eskil politik (tahanan politik) akibat terindikasi
terlibat dalam G/30 S oleh Partai Komunis Indonesia. Cerita setebal 464 halaman
ini merekam jejak sejarah kehidupan para tahanan politik beserta kawan, kerabat
dan keluarganya dalam masa meletusnya G/30 S hingga tumbangnya masa orde baru
yang ditandai dengan didudukinya gedung MPR di Jakarta oleh para aktivis
pergerakan.
Di awali dengan Dimas Suryo, lelaki
asal Solo Jawa Tengah yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia
ini tidak pernah mendeklarasikan dirinya adalah golongan dari kelompok tertentu.
Ia bekerja di Kantor Berita Nusantara yang hampir kesemuanya aktif dalam
kebudayaan Lekra. Ia bersahabat sekaligus berelasi kerja dengan Hananto
Prawiro. Senior yang sekaligus aktif mendeklarasikan ia merupakan golongan dari
orang-orang kiri. Dipertemukannya mereka dengan Surti Anandari anak seorang
dokter dari golongan borjuis yang kemudian mengisahkan Kenanga, Alam dan Bulan menjadikan
kisah mereka teramat panjang dan mengilhami bagian-bagian selanjutnya dalam Pulang.
Dimas yang tidak pernah melabuhkan
dirinya pada suatu ketetapan menjadi bagian dari kelompok tertentu ataupun
tidak memutuskan untuk melabuhkan hatinya pada seseorang terpilih, akhirnya
harus mendulang buahnya menjadi pengelana dan penetap di Perancis pasca
menghadiri konferensi yang ia sendiri tidak begitu mengetahui dan memahami.
Konferensi yang seharusnya dihadiri oleh Mas Hananto tersebut, kemudian
mengajakanya untuk tidak merasakan letusan G/30 S yang pada September 1965 yang
meledak secara serentak di Indonesia. Operasi besar-besaran pun dilakukan.
Pencidukan, penyiksaan, dan teror menghantui setiap keluarga yang diindikasi
terlibat atau bahkan dilibatkan secara sengaja. Dimas yang hanya mampu membaca
surat dari Aji Suryo (adiknya), Surti Aandari (kekasihnya ‘jangka lama’),
Hananto Prawiro (sahabat sekaligus rekan kerja dan diskusi yang menjengkelkan)
serta teman-temannya yang lain di Indonesia merasa bahwa dirinya harus segera
pulang ke Indonesia.
Perancis pun akhirnya harus menjadi
tempat Dimas singgah, bukan berlabuh. Pertemuannya dengan gadis Perancis
Vivienne Deveraux saat aksi di Universitas Sorbonne menjadi awal mula Dimas
memutuskan untuk tinggal berlama di negara yang terkenal dengan Menara Eifelnya
tersebut. Metro dan berbagai sudut menarik di Perancis, aneka kerenyahan sastra
dan musiknya, serta Vivienne yang mengalami le coup de foudre atau cinta
pada pandangan pertama pada lelaki Asia itu pun akhirnya membuat Dimas menghabiskan
waktunya di Perancis. Vivienne pun mengerti bagaimana perbedaan penyuaraan
pendapat di negaranya dan di negara asal lelaki yang dicintainya. Ia pun
menjelma menjadi sosok yang mengerti Dimas Suryo dengan segala sisinya (yang
terlihat, bukan hatinya). Beberapa waktu berlalu dan membuatnya terikat dengan
sebuah perkawinan. Inilah yang kemudian akan mejadi cerita awal dari Lintang
Utara dan Restoran Tanah Air.
Restoran Tanah Air bukti kecintaan
dan kerinduan Dimas, Risjaf, Mas Nug, dan Tjai serta awal rasa penasaran
Lintang Utara pada satu kata I.N.D.O.N.E.S.I.A. Restoran yang menyediakan aneka
ragam masakan Indonesia dengan chef ahli Dimas Suryo yang begitu peka
pada racikan bumbu dan rasa menjadi salah satu restoran tujuan di Perancis.
Menampilkan aneka kebudayaan Indonesia dan berbagai galeri tentang Indonesia di
negara pada benua biru tersebut menambah rasa rindu mendalam pada tanah air
mereka. Dari Restoran Tanah Air inilah juga kemudian persahabatan keempat eskil
politik tersebut semakin erat, bahkan mereka bagai satu bagian tubuh, sama-sama
saling membutuhkan, sama-sama saling merasakan. Restoran Tanah Air inilah juga
yang menjadi saksi bagaimana akhirnya Dimas yang bercerai dengan Vivienne
lantaran ditemukannya surat dari Melati Putih (Surti), saksi kedekatan Lintang
Utara dan Naraya sebelum keberangkatan Lintang ke Indonesia, bahkan hingga
cerita tentang bersih diri dan bersih lingkungan yang menjadi perbincangan
hangat kedutaan besar Indonesia di Perancis. Restoran ini menjadi saksi bisu
bagaimana pemerintah memperlakukan para ‘Warga Negara Indonesia yang dianggap
sebagai eskil politik’, bahkan restorat ini dianggap sebagai sarang komunis.
Kisah pun berganti generasi tentang
anak muda, Lintang Utara begitulah ia diberi nama. Anak perempuan Dimas Suryo
yang tumbuh dengan cerita-cerita wayang, masakan khas nusantara, polemik
politik yang melibatkan ayahnya, menjadi makanan sehari-hari bagi mahasiswi
yang mengambil fokus bidang Sinematografi di Universitas Sorbonne tersebut.
Kekasih dari Naraya seorang laki-laki yang dibesarkan dari keluarga ‘tidak
bermasalah’ ini, akhirnya menuju Indonesia setelah bimbingan tugas akhirnya
yang mengharuskan ia merekam bagaimana kehidupan para kerabat dan keluarga
eskil politik yang dianggap terlibat dalam meledaknya G/30 S. Inilah yang
kemudian mengantarkannya pada bumi asal mula kunyit yang biasa dipajang dalam
toples ayahnya tersebut. Pertemuannya dengan Indonesia itu pun akhirnya menjadi
cerita yang membuka semua kisah tentang Dimas Suryo, dan menjadi bentuk pertautan
rasanya dengan Segara Alam.
Bersama Alam ia pun kemudian begitu
akrab dengan Andini (Anak dari Aji Suryo adik Dimas Suryo yang hidup serba
hati-hati dan memilih pada zona nyaman), Bimo (Anak dari Mas Nug yang tumbuh
dengan Rukmini dan suami barunya yang juga merupakan aktivis militer), serta
LSM Satu Bangsa dengan segala macam isi manusianya dan karakter yang begitu familiar
baginya. Dapat dipastikan Lintang merasakan kenyamanan di Indonesia.
Investigasi berupa wawancara pun dilakukan, berbagi narasumber yang sudah
ditentukan berkat bantuan dari para pemilik Restoran Tanah Air mulai dipetakan,
inilah yang kemudian menguak bagaimana posisi keluarga para tapol 1965, para
pemberangus, dan beberapa tokoh politik Indonesia. Dalam Pulang yang
ditulis oleh wartawan Senior Tempo ini pun menjadi rekam jejak perlakuan yang
seharusnya patut diketahui oleh masyarakat. Ketakutan-ketakutan Surti atas
nasib Kenanga, Alam dan Bulan pasca tertangkapnya Hananto Prawiro dan
didudukkannya mereka bak tahanan yang ditanyai dengan satu pertanyaan sama,
sikap Aji Suryo yang seolah ingin menjadi warga negara dalam posisi aman tetapi
terlihat bijaksana, dan beberapa fenomena lain yang kesemuanya menyudutkan
bahwa segala yang bersangkut paut dengan eskil politik dipersulit untuknya
bahagia, bahkan hingga fenomena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan dengan siapa
ia harus menikah. Diskriminasi atas kesalahan yang belum tentu dilakukan.
Itulah yang mungkin hendak disampaikan.
Tugas akhir Lintang yang
menjadikannya begitu akrab dengan Indonesia itulah yang kemudian menghantarkan
pada satu perasaan, ia seperti terlahir di sini. Perpaduan Indonesia – Perancis
membuatnya merasakan nuansa yang berbeda setiap melewati segala likuk jalanan
Jakarta. Ia pun menyempatkan diri mengunjungi Karet salah satu daerah di
Jakarta yang membuat ia selalu merindukan ayahnya. Dimas Suryo yang sebelum
melepas Lintang pergi ke Indonesia, begitu menyatakan bahwa nanti ia ingin
bertemu Karet. Dimas pun akhirnya pulang dan Karetlah yang menjadi tempat
istirahatnya selama ia pulang. Kepulangan yang didamba itupun tiba juga.
0 komentar:
Posting Komentar