Aku
juga merindumu dalam genggaman jemariku yang meraut jemarimu dalam bingkai foto
klise. Aku juga masih merindumu, iya kamu, siapa lagi. Merindu dalam setiap
ingatanku tentangmu. Merindu dalam setiap menyimak lagu yang pertama kita
dengarkan. Merindumu dalam buliran air mata yang tiada lelah mengiringimu dalam
pergi.
Aku
tidak dapat mengandaikan bagaimana aku sekarang tanpamu. Aku tidak dapat
mengandaikannya. Aku begitu bungkam atas setiap terjal cerita yang kita
kehendaki sendiri, semua begitu berat untuk diungkapkan. Seberapa jauh jarak
kita? Seberapa lama tatapan mata kita tak saling bersua bahkan beringin dalam
angannya? Semua itu terlalu lama dan mengepal menjadi air mata.
Aku
tidak lagi tahu bagaimana caraku mengatakan semuanya. Semua begitu saja
mengalir, entah dengan atau tanpa rasa. Semua melebur dalam dramatika kisah
kita yang begitu sulit untuk saling diceritakan. Sampai-sampai kita saling diam
bukan? Iya diam, melihat bagaimana rasa menjalankan setiap organnyam melihat
bagaimana rasa menempatkan condongnya dengan mandiri. Bukankah kita tak pernah
ikut campur atau ingin menggenggamnya? Iya menggenggam tanpa ingin terlepas,
aku dan kamu tak pernah ingin melakukan itu.
Pertemuan
genap kita yang diakhiri dengan usapan air mata dari jemarimu bukanlah satu
dari sekian babak yang aku inginkan. Aku masih menginginkan pertemuan ganjil
selanjutnya, genap selanjutnya. Aku ingin kita saling ada dalam segala bentuk rupa,
entah nyata atau maya. Aku masih ingin membisikan beberapa frasa ke gendang
telingamu.
Ceritamu
masih kutunggu. Iya cerita tentang Habibi yang makan tiga kali sehari. Cerita
yang kamu utarakan padaku saat aku tidak teratur makan. Cerita itu masih
terpotong bukan? Lalu ajakanmu untuk makan dengan masakan kita sendiri pasca
kita buka puasa bersama di Hoka-hoka bento, iya kamu utarakan itu setelah aku
tidak bisa memakai sumpit saat hendak makan masakan jepang, lalu tiba-tiba
dagingnya melompat ke arah salah satu pengunjung seperti telenovela, kamu masih
ingat bukan? Aku sudah mempersiapkan buku resep masakan untuk agenda itu,
agenda masak bersama kita. Aku ingin
memasak untukmu. Semua ini tentangmu, iya kamu. Siapa lagi?
Saat
ini mungkin kita menjalani siklus lelah, siklus bosan, siklus yang tidak pernah
kita harapkan. Tapi masih bolehkah aku percaya kita mampu melaluinya? Kita
tidak akan pernah tahu bagaimana takdir kita, tapi TUHAN MASIH MEMPERBOLEHKANKU
UNTUK MEMINTA SEGALA, entah bagaimana sekarang kita? Kita yang hanya bisa
saling diam.
Terima
kasih rasa...
Kamu
sudah memberi warna yang tidak kutahu akhirnya...
(Malang,
delapan desember dua ribu dua belas)
#Jiwaku-My
Girl My Women My Friend.
0 komentar:
Posting Komentar