Mengintip kolong
langit yang masih senantiasa memberi ruang lepas untuk sejenak menunduk atas
setiap nikmat ini. Aku mulai berjalan lagi, dan entah bagaimana caraku berjalan
setelah ini. Iya, setelah ini. Setelah kita sama-sama mengerti bahwa bersama
dalam rasa yang berbeda itu sungguh amat sangat tidak menyenangkan. Masih bersama
kilauan mimpi yang semakin hari semakin tertepis bahkan seakan hendak lenyap.
Aku ucapkan pada langit, aku mulai malam kini.
Iya aku mulai
gelap lagi karena pagiku sudah beranjak. Ia berputar dan hendak tiba pada
malam. Tapi ia berkata tak akan ada pagi lagi, ia seakan membiarkan aku sendiri
menuju malam. Menuju malam yang kata matahari begitu nampak suram tak ada
cahaya. Semakin seram ketika kilat dan hujan menghampiri tanpa henti. Iya, kata
matahari malam begitu sunyi, bahkan sesunyi kolong langit yang selalu kuberi
rapalan mantra-mantra tanpa lelah untuk dimengerti. Sungguh, aku hendak menuju
malam, tanpa pagi, melepas daun dan tidak lagi sebagai embun.
Aku akan
mendatangi malam setelah matahari secara perlahan meninggalkan siang dan tidak
ingin berlama dengan sore. Iya, sebentar lagi malam dan sebentar lagi aku
menjadi malam. Entah bagaimana nanti kebaikan malam menempatku pada bintang
atau pada bulan, aku tak akan merajuk pada semua itu. Aku ingin setia pada
malam yang selalu akan mulai memberiku nuansa baru yang kuanggap lebih baik.
Aku seperti bebas bernafas dengan tulisan-tulisan yang terpahat karena sinar,
iya sinar yang nanti akan menjadikanku malam yang tidak suram seperti kata
matahari. Sinar itu yang mampu menjadikan aku indah sebagai malam tanpa harus
merasa sendiri setiap selepas sore.
Dan seperti
malam yang selalu berharap dijemput sinar dalam segala dimensinya. Entah
bagaimana sinar dalam wujudnya, entah bersanding dengan bulan, entah bersanding
dengan bintang, entah dipersandingkan dengan jagad malam. Entahlah, yang
terharap hanya selalu malam yang membawa lepas dalam gembiranya, riangnya,
senyumnya, dan setiap cerita-cerita baru yang terekam. Aku akan lebih memerhatikan
raungan-raungan mimpi yang seakan menjerit untuk segera dijemput. Aku akan
mengalihkan pagi, tak lagi bersama daun, dan tak lagi menjadi embun. Iya, aku
akan menjadi malam dengan segala nuansa baru yang dijanjikan Tuhan bahwa tak
ada tanam yang tak berbuah, dan tak ada pengharapan yang tertolak, hanya
menunggu waktu saja bukan? Aku masih percaya, semoga sinar yang mendengar akan
beranjak datang dalam segala dimensinya.
Aku akan memahat
kisah baru. Iya, kisah baru tentang malam-malam yang tak terkebiri, tak
terabaikan, tak terpermainkan, dan tak akan lagi menjatuhkan hujan tanpa
mengerti mengapa dengan mudah ia jatuh di pagi hari. Aku datang mayapada,
menjemput janji-janji surga yang hakiki. Menutup pagiku dan mulai menikmati
malamku hingga pagiku bersanding dengan lebih baik dan bijak. Selamat datang
kembali, Jingga seakan mulai menyala tak akan mati sia-sia teredup angin pagi.
Selamat malam.
Selepas 06: 54: 30 WIB BUKAN ATAS NAMA KEBODOHAN, LEBIH DARI PEMBODOHAN.
Masih dalam akhir bulan yang penuh pengharapan.
Pasca Aprilia menjadi lain.
Hidup selalu punya cara agar orang-orang ingat padanya. Pagi hadir sebagai sebuah keniscayaan konsekuensi adanya malam. :)
BalasHapus