Minggu, 26 Agustus 2012

Di Balik Buku Lingkaran Kabut Korrie Layun Rampan


Kemarin saya datang ke perpustakaan Kota Malang bersama adik kelas saya saat SMP. Saat ini ia menjadi adik tingkat saya di Universitas Brawijaya. Kami sering berkomunikasi walaupun kami berbeda fakultas. Mungkin karena akhir-akhir ini ia sering bersama saya selama di Malang. Ia bernama Beti.

Lanjut bercerita, ini adalah kali pertama saya kembali ingin melanjutkan kebiasaan yang menyenangkan, yakni menghabiskan waktu di perpustakaan. Biasanya kegiatan tersebut lebih menyenangkan ketika saya berangkat dan pulang dengan mengayuh sepeda kesayangan saya. Namun kali ini berbeda, saya membonceng adik tingkat saya dengan sepeda motor.

Saya mulai memanjakan mata saya dengan deretan buku biografi tokoh-tokoh ilmu sosial. Masih saya ingat saat itu saya ingin sekali meminjam buku biografi dari presiden pertama NKRI bapak Soekarno. Entah mengapa tiba-tiba saya ingin membaca buku-buku yang mengulas tentang beliau. Mungkin hal tersebut dikarenakan saya pernah menjadi oderator seminar, dan pembicara tersebut memberikan kata-kata penutupan yang bersumber dari salah satu tulisan bapak Soekarno. 

Namun keinginan tersebut tiba-tiba saya urungkan. Saya langsung berlanjut menjajaki deretan buku fiksi. Tidak berlama-lama saya langsung menuju ke deretan sastra lama. Saya begitu menyukai karya-karya fiksi seperti, roman, novel, dan sejenisnya yang ditulis oleh para sastrawan luar biasa seperti Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Muchtar Lubis, Korrie Layun Rampan, dan lain-lain. Tiba-tiba pandangan saya tertuju pada novel Korrie Layun Rampan yang berjudul Lingkaran Kabut. Sekilas terlihat buku terbitan lama, koleksi terbatas, dan tiba-tiba memmunculkan suatu tanda tanya dalam diri saya. Tidak berlama-lama saya langsung membaca sinopsis yang ada di belakang sampul. ‘Menarik’, satu kata yang mewakili perasaan saya saat itu.
Singkat cerita, novel tersebut dapat saya bawa pulang dan akhirnya saya baca. Tidak saya sangka, karya tersebut menceritakan tentang suatu hal yang begitu kompleks, seakan-akan mengajak saya untuk menyelami lebih dalam mengenai suatu hal yang akhir-akhir ini sedang saya rasakan. Karya Korrie tersebut juga memberikan wawasan yang luar biasa tentang suatu hal yang cukup saya butuhkan akhir-akhir ini. 

Berkaitan dengan Kota Buaya, pikiran saya pun mulai mengajak untuk menyangkut pautkan dengan segala hal yang sedang saya alami. Tidak jauh-jauh, lagi-lagi tentang dia. Dia yang akhir-akhir ini begitu merajai topik dalam setiap tulisan saya. Dia yang akhir-akhir ini banyak mengusik tentang pikiran dan perasaan saya, bahkan membajak saya dengan setiap hal yang pernah ia tunjukkan kepada saya. 

Cerita apakah sebenarnya yang terdapat dalam Lingkaran Kabut tersebut? Masih rahasia, saya sedang proses penyelesaian membaca novel tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri cerita yang disuguhkan memang sangat menarik. 

Saya menemukan percakapan menarik dalam buku Korrie tersebut. Percakapan antara ayah Risda dan Risda (tokoh utama). Percakapan tersebut benar-benar membuat saya semakin terbuka dalam berpikir.

Berikut penggalan percakapan tersebut:
“Kamu menyukai Rusdi, Rida?” Ayah berkata di suatu senja.
“Mengapa Ayah bertanya Risda menyukai?”
“Kalau menyukai, Risda harus memelihara rasa suka. Jangan seperti memukat. Pemuda punya hati, bukan seperti ikan yang tak berdaya di dalam jalan.”
“Risda tidak menjala, Ayah”
Bergaul dan banyak kawan tak jadi persoalan. Tetapi memilih pemuda untuk berdekatan, jangan sembaran.”
“Jadi kalau Risda menyukai Rusdi?”
Kalau menyukai lebih dari kawan biasa, memeliharanya harus istimewa.”

Membaca percakapan tersebut, tiba-tiba saya tersenyum, saya terdiam dan berpikir, lalu saya menutup novel tersebut. Saya putuskan untuk menganalisis suatu hal yang sedang saya rasakan. Apakah itu? Entahlah, saya masih suka menjadi rahasia.

Malang, Dua Puluh Enam Agustus Dua Ribu Dua Belas.
Hari pertama tanpa apa kabar darimu.

0 komentar:

Posting Komentar