Hei kamu, apa kabarmu hari ini?
Kotaku cerah pagi hingga siang ini, entah sore nanti. Tahukah kamu? Aku mulai merasa
kamu seakan mulai mengikuti alurku dalam berkomunikasi akhir-akhir ini, seakan
menghindari memberi feedback di seperempat malam walaupun kita saling berjaga
untuk memohon melalui doa. Iya, apakah kamu juga mulai merasa?
Pagi ini aku bersama keluarga
berkumpul pra melakukan aktivitas kami masing-masing. Seperti biasa momen ini
kami gunakan untuk saling bercerita, iya bercerita tentangku saat ini dan nanti
aku di masa depan. Banyak hal yang membuat otak kami saling terisi, tentunya
berisi tentang hal-hal yang memberikan banyak stimulus baru untuk saling berbenah.
Aku juga menceritakan tentang kegiatan baruku saat ini, dan akhirnya ini yang
aku tunggu, memasukan cerita-ceritamu dalam setiap percakapan kami.
Aku seperti berapi-api
menceritakan tentangmu. Tidak ada yang kulebihkan, tidak ada yang kukurangkan,
semuanya kuceritakan dengan nyatanya di lapangan. Aku seperti seakan mulai
menanamkan sosok baru dalam kehidupan kami, iya kehidupanku bersama keluargaku.
Ini yang pertama dan sepertinya masih banyak rahasia yang membuatku berjiwa
membara untuk tahu dan mengetahui.
Pasca empat kali doa bersama kita
lakukan, aku seperti menjadi sosok yang tiada henti ingin bercerita tentangmu.
Aku bukan lagi embun yang tak cukup berani untuk menjadi hujan walau tak
mungkin. Tak cukup berani menjadi sumber mata air walau hanya khayalan. Dan aku
yang tak cukup berani mendahului daun untuk tetap bisa hidup. Aku bukan lagi
embun, iya pasca aku mengenalmu. Iya, kamu. Jangan menoleh ke kanan kirimu,
hanya kamu. Aku sedang berbicara denganmu.
Entah bagaimana Tuhan akhirnya
mempertemukan kita. Aku tidak ingin waktu yang lebih cepat, aku menerima kapan
saja Tuhan akan mempertemukan kita. Bukankah jika bukan prioritas kita, maka
adanya kamu bagiku dan adanya aku bagimu adalah penghalang masa depan? Iya
penghalang yang secara cerdas akan meracuni otak-otak kita dengan rasa-rasa
abstrak yang seringkali membuat kita bimbang. Tapi tidak, hadirmu bukan benalu.
Kamu seperti tunas yang nantinya akan banyak membuatku merasa lebih berguna dan
lebih ada. Aku bukan lagi embun itu karenamu.
Sepuluh lewat lima belas, hari baru di kotamu dan kotaku.
0 komentar:
Posting Komentar