Dimensi waktu ini mengaduk-aduk
rasaku, membuatku merasa kelabakan. Seakan gemetar, seakan dag dig dug, seakan
dan seakan mimpi-mimpiku menjadi dekat. Aku begitu lugu menerimanya, dengan
seraya yang tak pernah bisa aku ungkap dalam pintas masa laluku. Aku seakan
ingin menendang-nendang tembok sifon hijau itu, bukan karena aku tidak siap, lagi-lagi
hanya saja seakan mimpi-mimpiku semakin dekat.
Entah bagaimana rasa itu dapat
melibatkan seluruh hormon ini sehingga seiya sekata... Aku hanya semakin tak
mengerti saja, apakah fiksi-fiksi itu mulai akan menjadi nyata. Bukan hanya
fiksiku, tapi juga setiap mimpi-mimpi yang pernah aku tuliskan pada kertas biru
di atas samudera. Semua seakan dekat, kita tanpa meninggalkan masa lalu dan
kita yang sama seakan-akan suka tanpa menutupi cerita-cerita kita sebelumnya.
Aku fikir aku mulai akan bahagia.
Mekanika itu semakin
merasionalkan pemikiranku. Ia datang dan seakan membuatku tidak abu-abu lagi,
inginku semua berbeda, inginku semua ingin-inginku yang lain menjadi nyata tak
terkecuali rasa. Entah rasa apakah itu? Aku tak mampu menjawabnya, seakan
mengalir, seakan bercerita dengan sendirinya, dan seakan-akan aku diarahkan
pada arti kata ‘menerima’. Iya, menerima bedanya kita.
Aku mengalun tulisan lewat setiap
rangkai kata yang terkadang tak rasional, tapi kamu mengatakannya indah karena
jarang mendengarnya. Kamu begitu antusias dengan kelogisan dalam setiap
pemikiran, aku diam menyimak dan menganggap itu luar biasa. Semua seakan
teriring tidak percuma, adamu dan adaku seakan kita sama-sama butuh. Mungkin
saja ini benar?
Kita mungkin pernah saling sama kecewa
karena cerita. Kita mungkin pernah saling sama terluka dalam menjalaninya. Kita
mungkin pernah sama dan seakan akan sama dalam setiap rasa-rasa yang pernah
sama kita rasakan. Itu dulu, bukan sekarang. Lalu kini entah sejenak, entah
selamanya aku tak lelah bermunajat Tuhan begitu menyayangiku dengan sekian
caranya, aku ingin menyambut dan memperlakukannya dengan istimewa. Dan
lagi-lagi entah klise entah bukan.
Kini kita saling menyebut dengan
nama. Kini kita saling mengisi dengan cerita. Kini kita saling bertahan dengan
realisasi mimpi. Kini kita ada, iya ada dengan makna kita masing-masing. Tiga
ratus lima puluh enam hari dikali lima atau tujuh apakah benar kita ada untuk
saling meluruskan tulang rusuk kita yang bengkok? Wellcome My Engineer, begitu
aku menyapamu dalam setiap fiktifku.
Malang, Dua Februari Masehi Kedua
Dua Ribu Pasca Dua Ribu Sebelas
Subhanallah,.....
BalasHapusLagi-lagi aku harus mengulang 2x setiap kata yang kamu rangkai menjadi kalimat.entah beratasnamakan fiktif atau fakta. Tetapi sejak Malioboro mulai sepi, sejak Saidan mulai basah, sejak hotel mutiara mulai senyap, sejak transjogja sudah tak beroperasi lagi, dia datang dengan kekuyupan. untuk menjadi ada, bukan tiada.
:)
BalasHapusBagus juga kata-katanya :)