Sabtu, 02 Februari 2013

Wellcome My Engineer

Dimensi waktu ini mengaduk-aduk rasaku, membuatku merasa kelabakan. Seakan gemetar, seakan dag dig dug, seakan dan seakan mimpi-mimpiku menjadi dekat. Aku begitu lugu menerimanya, dengan seraya yang tak pernah bisa aku ungkap dalam pintas masa laluku. Aku seakan ingin menendang-nendang tembok sifon hijau itu, bukan karena aku tidak siap, lagi-lagi hanya saja seakan mimpi-mimpiku semakin dekat.
Entah bagaimana rasa itu dapat melibatkan seluruh hormon ini sehingga seiya sekata... Aku hanya semakin tak mengerti saja, apakah fiksi-fiksi itu mulai akan menjadi nyata. Bukan hanya fiksiku, tapi juga setiap mimpi-mimpi yang pernah aku tuliskan pada kertas biru di atas samudera. Semua seakan dekat, kita tanpa meninggalkan masa lalu dan kita yang sama seakan-akan suka tanpa menutupi cerita-cerita kita sebelumnya. Aku fikir aku mulai akan bahagia.

Mekanika itu semakin merasionalkan pemikiranku. Ia datang dan seakan membuatku tidak abu-abu lagi, inginku semua berbeda, inginku semua ingin-inginku yang lain menjadi nyata tak terkecuali rasa. Entah rasa apakah itu? Aku tak mampu menjawabnya, seakan mengalir, seakan bercerita dengan sendirinya, dan seakan-akan aku diarahkan pada arti kata ‘menerima’. Iya, menerima bedanya kita.

Aku mengalun tulisan lewat setiap rangkai kata yang terkadang tak rasional, tapi kamu mengatakannya indah karena jarang mendengarnya. Kamu begitu antusias dengan kelogisan dalam setiap pemikiran, aku diam menyimak dan menganggap itu luar biasa. Semua seakan teriring tidak percuma, adamu dan adaku seakan kita sama-sama butuh. Mungkin saja ini benar?

Kita mungkin pernah saling sama kecewa karena cerita. Kita mungkin pernah saling sama terluka dalam menjalaninya. Kita mungkin pernah sama dan seakan akan sama dalam setiap rasa-rasa yang pernah sama kita rasakan. Itu dulu, bukan sekarang. Lalu kini entah sejenak, entah selamanya aku tak lelah bermunajat Tuhan begitu menyayangiku dengan sekian caranya, aku ingin menyambut dan memperlakukannya dengan istimewa. Dan lagi-lagi entah klise entah bukan.

Kini kita saling menyebut dengan nama. Kini kita saling mengisi dengan cerita. Kini kita saling bertahan dengan realisasi mimpi. Kini kita ada, iya ada dengan makna kita masing-masing. Tiga ratus lima puluh enam hari dikali lima atau tujuh apakah benar kita ada untuk saling meluruskan tulang rusuk kita yang bengkok? Wellcome My Engineer, begitu aku menyapamu dalam setiap fiktifku.

Malang, Dua Februari Masehi Kedua Dua Ribu Pasca Dua Ribu Sebelas

2 komentar:

  1. Subhanallah,.....
    Lagi-lagi aku harus mengulang 2x setiap kata yang kamu rangkai menjadi kalimat.entah beratasnamakan fiktif atau fakta. Tetapi sejak Malioboro mulai sepi, sejak Saidan mulai basah, sejak hotel mutiara mulai senyap, sejak transjogja sudah tak beroperasi lagi, dia datang dengan kekuyupan. untuk menjadi ada, bukan tiada.

    BalasHapus