Minggu, 10 Februari 2013

Sebelas Nol Tepat di Terminal Kota Angin

Akhirnya kita berjumpa. Iya, berjumpa dalam nuansa yang bercampur rasa. Nuansa yang tiba-tiba membuat kita merasa menjadi lain. Bukan lagi aku dengan beraniku dan kamu dengan beranimu, melainkan rasa dag dig dug yang selalu memburu-buru dalam setiap kontak kita. Aku ingat aku memperlakukanmu seperti di bandara, dengan gelagat seorang pembantu desa aku mendatangimu dengan malu-malu membawa kertas merah muda yang menanyakan namamu.

Semua itu terasa lugu, begitu saja terjadi. Aku seakan berani meremas-remas kertas merah muda itu di depanmu, bukan apa-apa. Hanya malu dan rasa tak karuan ini sedang merajai hatiku yang berdetak tak tentu. Aku tak percaya, aku bisa bertemu denganmu di kotamu yang sama lugunya dengan kotaku.

Kita bersama tak terlalu lama, tidak lebih dari lima jam namun begitu bermakna. Iya, bermakna bagi aku terutama, entah kamu apalagi kita. Aku pikir kita menikmati setiap jelajah pertemuan ini. Kita seakan masuk dalam dunia beda kita, kamu dalam duniaku yang suka berfantasi dan rempong dalam bahasa bencong, aku dalam duniamu yang begitu keras namun inspiratif. Aku suka semua ini, aku suka kita.

Entah apa yang menggelayuti setiap rasa. Aku berusaha mengalihkan dan aku berusaha tak menebak. Aku bercerita kamu menyimak, kamu bercerita aku lebih antusias menyimak. Hanya canda-canda kecil yang menjadi latar dalam setiap adegan yang kita lakukan. Iya adegan aku menatap jendela, dan kamu yang serasaku ingin melihatku lebih lama. Aku pun terkadang demikian dalam setiap diamku. Kita seperti remaja, walau hanya dalam setiap rasa yang kita punya.

Semua beralih lirih dan akhirnya sunyi. Kita harus menghentikan pertemuan kita. Entah apa yang ada dalam benak kita masing-masing, aku seperti tak ingin lelah untuk dapat memperjuangkan cerita ini. Iya cerita yang katanya nyata tapi entah terasa ataukah tidak. Dengan berjuang aku merasa hidup, hidupku memang bukan kamu, tapi kamu satu dari sekian alasan mengapa aku masih bertahan hidup.

Terima kasih untuk setiap cerita dan satu carik kertas gambar penuh makna.
Kamu mulai bisa mengimajinasikan namaku.

Dengan kasih...
Tanpa nama.

Kota yang ingin kamu kunjungi, sepuluh bulan dua kabisat tahun masehi.

0 komentar:

Posting Komentar