Sabtu, 19 Mei 2012

Terimakasih Telah Menyapaku Terlebih Dahulu

Selamat Pagi Tuhan. Akhirnya prasangka ini menunjukkan kehebatannya. Semalam aku bermain dengan bianglala yang mampu menerobos gemerlap lampu malam di tengah nuansa. Aku begitu menikmati segala romansa ceria yang begitu hangat. Aku berusaha menerobos penat dalam belenggu cerita senja tak ternanti. Entah bagaimana aku mampu melukiskan segala hal yang akhir-akhir ini aku rasakan.

Aku menyusuri malam di tengah kerumunan manusia yang begitu bahagia. Aku larut dalam ceria gumpalan tawa tanpa duka, walaupun entah apa yang mereka rasakan dibalik itu semua. Entahlah, bukan urusanku juga. Hingga akhirnya aku terhenti pada titik sunyi karena dering hp bergetar cukup memekikkan dengan melodi, aku begitu berdegup dan gugup. Ternyata ada nomor baru mengirimiku pesan singkat.

“I see u” begitu bunyi pesan itu. Sontak saja aku langsung gemetar tiada henti. Bukan kalut, aku coba memastikan segala petikan cerna nada malam yang coba mengantarkanku pada kepingan cerita senja. Sempat aku ingin meneteskan air dari mata sayuku ini. Entah ini bahagia atau haru yang tiada terbendung. Tiba-tiba saja kaki terasa lemah tak mampu ku jalankan lagi, aku diam dan tak bisa berkata. Sebahagiakah ini? Sesedihkah ini? Atau sebodoh inikah aku atas setiap hal yang tak mampu ku pahami alurnya. Aku begitu gamang, semuanya terasa absurd.

Entah inikah kehebatan prasangka, aku merasa akan bertemu dengannya malam ini. Benar ternyata, aku menemuinya. Menemui dia yang beberapa hari ini menjadi cerita dalam setiap percakapan kecilku dengan Tuhan. Menemui dia yang beberapa jam lalu menjadi manusia yang paling sering kuceritakan pada awan, pada hujan, dan pada mentari. Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu dengannya. Entahlah, lagi-lagi entah. Begitu menjadi pesona paling menegangkan dalam setiap titik garis fokusku pada masa yang paling berat ini.

Sejenak aku berdiam. Suasana menjadi berubah tanpa arah. Aku ingin mengatakan aku bahagia, namun dia tak mengatakan demikian pada angin bahwa dia merasakan hal seperti itu . Aku ingin mengatakan aku sedih, namun dia tak mengutarakan pada Tuhan agar hujan mengiringi sedihku jika aku menangis. Aku ingin memanggil namanya, namun lagi-lagi malu merajai segala organ tubuhku. Alat ucap ini terasa kelu hanya untuk sekadar berkata “Kamu, terimakasih telah menyapaku terlebih dahulu”.

Dengan Kasih...
"Embun Jingga"

0 komentar:

Posting Komentar