Rabu, 23 Mei 2012

Bukan Sebongkah Lagi (Hope 3)


Aku selesai membaca semua catatan-catatanmu di salah akun jejaring sosialmu. Aku membacanya dengan teramat runtut. Aku tertarik dengan pola penceritaanmu yang terkesan frontal, namun ada beberapa catatanmu yang kurang bisa ku terima karena aku tahu itu bukan catatan orisinal yang kamu buat, benar saja, aku pernah membaca tentang itu di salah satu akun jejaring sosial orang lain. Entah, siapa yang mencopy dan mempaste, bagiku sekarang adalah saatnya memberikan tanggapanku untuk kamu di masa bahula dan di masa sekarang. Cukup kamu baca masa pra aku mengenalmu dan masa pasca aku mengenalmu di gedung itu.

Aku awali dengan sebuah kata maaf, maaf karena aku tak lebih dahulu izin saat membaca catatan-catatan kamu. Maaf saat aku terlalu dalam mengorek-ngorek identitasmu melebihi petugas pembuat KTP menanyaimu sebelum kamu membuat KTP beberapa tahun yang lalu. Maafkan aku, aku hanya ingin lebih mengenalmu dengan cara melalui segala usahaku sendiri. Semoga kamu bisa menerima segala alasan yang aku kemukakan, aku tak memiliki niat sedikitpun untuk sekadar mengusik sela-sela titik nafasmu.

Aku suka dengan caramu yang tergolong arogan dalam mengemukakan alasan, gayamu yang sedikit slengekan namun tetap bisa dipertanggungjawabkan, hingga aku tercengang ternyata kamu bukan salah satu dari manusia sekuat supermen yang pernah kamu katakan. Kamu pernah merasakan rasa sakit yang sama seperti makhluk Tuhan lainnya. Benar, rasa suka, rasa kagum, rasa duka, rasa kecewa, dan ini yang agak membuatku riskan, iya benar rasa cinta. Aku mulai merasa sedikit ingin segera menyelesaikan membaca tulisanmu saat kamu mengatakan pernah memiliki perasaan itu kepada sosok lain, penggambaran tepatnya aku tidak begitu tahu. Aku hanya sedikit mengulangi pada bagian itu dan membaca beberapa komentar temanmu.

Sedikit mulai meninggalkan bagian tentang itu. Aku melangkahkan dan menggerakkan mataku pada bagian dan babak baru dalam kehidupanmu. Tepatnya pasca apa cukup aku yang tahu. Aku merasakan ada yang berbeda pada tulisanmu, pada status-status yang kamu buat, dan pada tindakan kamu saat ini. Kali ini aku sedikit mengagumi dan mencoba menyenangkan hati bahwa kamu bukan yang dulu lagi. Aku mengenalmu saat kamu lebih baik dari waktu-waktu yang pernah kamu lalui, dan aku beruntung. Terima kasih Tuhan.

Setetes embun memberikan banyak cerah nan indah pada pagi. Seperti percakapan kita pada waktu itu. Waktu di mana aku menjadi sayu karena aku terharu. Terharu saat membaca salah satu tulisanmu, benar tulisan yang kamu buat beberapa hari yang lalu. Aku jadikan itu penawar bagi segala rasa yang tak menyenangkan. Lagi-lagi berputar, aku hanya bisa menjadikan segala pengakuanmu, satu tulisanmu, dan beberapa pesan singkatmu di inboxku sebagai penetral bisa segala ceritamu yang dulu. Aku sedang bersama kamu yang baru, bukan masa lalumu walaupun tetap kuhargai segala proses kehidupanmu.

Aku akhiri dengan sepasang ikatan tanganku yang menengadah memohon pada Tuhan agar segala sikapku ini tidaklah salah. Aku selalu berharap Tuhan akan memberikan segala hal terindah bagi yang kita lalui dalam babak baru kisah-kisah. Aku tak ingin ada yang berubah, aku ingin kamu seperti ini, aku menerima kamu dengan segala kisah-kisah yang mungkin masih begitu asing di telingaku. Tentangmu yang terkadang berdebat soal politik, soal pemerintahan, soal doktrin, soal pendidikan, dan yang teramat sensitif soal kepercayaan. Sudahlah, aku menjadikan semua perbedaan ini sebagai warna. Warna yang akan menghiasi cerita kita di hari-hari indah selanjutnya, yang akan menjadi anugerah bagi kita yang menjalaninya, bersama bunga-bunga yang aku siram setiap pagi dan sore di taman dekat kolam. Aku tak ingin melewatkan sedikit pun hari tanpa menceritakan dan berbagi cerita denganmu.

Sekian banyak alasan mencoba menjatuhkanku pada fase minim kepercayaan padamu, namun kehadiranmu dengan sosok hari ini memberikanku lebih banyak alasan untuk mempertahankan perasaan ini. Hingga pada takdir Tuhan nanti akan berkata apa, yang aku tahu hanyalah aku berusaha yang terbaik dalam hidupku walaupun belum mampu mengatakan “hidup kita”. Semoga aku selalu percaya dan mengerti Tuhan tak pernah memberikanku proses kehidupan yang sia-sia. Termasuk sia-sia saat aku mengenalmu di siang itu dengan posisi duduk yang sejajar dan sama.

Satu lebih empat puluh dua menit dini hari
Dua puluh tiga mei dua ribu dua belas


Dengan Kasih...
Embun Jingga

3 komentar:

  1. Yang terucap akan hilang, yang tertulis akan terkenang.

    SEMANGAT UKHTY !!!

    BalasHapus
  2. Jika Ingin terkenang maka menulislah:)

    Terima kasih atas kunjungannya:)

    BalasHapus
  3. inspirasi dari mana phy? ^^

    BalasHapus