Senin, 21 Mei 2012

Menanti Salju di Puncak Jayawijaya

Ketika perbedaan menjadi batas antara rasa itu untuk terungkapkan. Tuhan Selamat Malam!!! Aku mengucapkan kalimat itu hanya untukMu malam ini, entahlah bagaimana surga detik ini, malamkah, atau mungkin pagi. Tuhan masih tentang dia kali ini, iya dia, siapa lagi Tuhan. Dia yang akhir-akhir ini menjadi penabur yang menabur rasa senyumku, rasa sakitku, rasa kecewaku, bahkan rasa yang tak dapat kudefinisikan.

Ketika ada yang mengatakan setiap perasaan selalu datang dariMu mungkin kini aku harus percayakan padaMu Tuhan. Sesungguhnya Engkaulah maha membolak-baikkan hati ini. Hati yang saat ini entah ingin apa. Entah ingin berbuat bagaimana, yang hanya mampu menuliskan segala rasanya lewat risalah malam yang kutitipkan pada angin agar tersampaikan padanya. Iya, pada dia, dia yang baru kutemukan belum lebih tiga ratus lima puluh enam hari.

Aku diam memperhatikan segala tingkahnya yang tak jarang sebenarnya ingin kuikuti. Mengikuti bagaimana dia hari ini, mengikuti ke mana saja dia pergi, bukan lagi di belakangnya, bukan pula dari kejauhan, namun di sampingnya. Di sampingnya walau hanya dalam khayal munajatku. Sesekali ingin menyapanya dengan senyum layu, tanpa dia membalas itu sudah cukup. Merasakan kehadirannya lewat angin saja sudah membuatku lega karena dia masih sama-sama menjadi makhlukMu di gemah rimpah loh jinawi ini.

Tak bisa kutolak terkadang hari-hari yang masih sempat kujalani ini semakin membuatku tak bisa lepas dari bayangannya. Saat aku presentasi dalam matakuliah tersulit pun, ingatan tentang pertemuanku dengannya selalu menjadi penutup presentasi yang menyenangkan, iya demikian. Mengapa? Karena dengan mengingat itu aku merasa menjadi seorang paling beruntung karena memiliki banyak mimpi. Iya mimpi, mimpi menjadi seseorang yang sehebat dia.

Aku tak ingin salah menafsirkan takdir Tuhan ini. Aku tak ingin salah lagi dalam menempatkannya di kehidupanku yang tak sebentar lagi. Mengurai mimpi-mimpi setinggi-tingginya akan kulakukan agar semangat darinya tak terbuang percuma dan tak berguna. Aku ingin dia masih seperti ini sampai musim ini berganti dengan musim yang lain, bahkan merasakan musim yang belum pernah kurasakan ingin kurasakan bersamanya. Iya, musim ini, mungkin di sini tak ada, mungkin aku dan dia harus melangkahkan kaki bersama  ke puncak jayawijaya untuk dapat sedikit merasakan tetesan salju perlahan dengan keadaan sama. Sama-sama asing, sama-sama masih malu, dan sama-sama tak akan menodai pertemuan dari Tuhan untuk kita siang itu. 


Dengan Kasih...
Embun Jingga

0 komentar:

Posting Komentar